Meski Indonesia adalah salah satu negara non-nuklir dan salah satu penandatangan Treaty on the Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone (SEANWFZ) yang berkomitmen menjaga kawasan Asia Tenggara bebas dari senjata nuklir. Namun, ancaman nuklir dari Korea Utara memerlukan penilaian ulang atas postur pertahanan dan kebijakan strategis Indonesia.
Pemerintah bisa mempertimbangkan untuk memperkuat Sistem Pertahanan Anti-Rudal. Apalagi, saat ini Indonesia hanya memiliki sistem pertahanan rudal jarak pendek seperti Mistral dan Starstreak, ancaman nuklir dari rudal balistik jarak menengah dan jauh membutuhkan sistem pertahanan yang lebih canggih. Menurut analisis dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) (2024), negara-negara Asia Tenggara perlu mempertimbangkan modernisasi pertahanan mereka, termasuk kemungkinan pembelian sistem pertahanan udara yang lebih canggih seperti THAAD (Terminal High Altitude Area Defense) atau S-400.

Selanjutnya, Indonesia bisa meningkatkan diplomasi pertahanan dan kerjasama internasional dengan negara-negara mitra seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Australia bahkan Korea Utara sendiri guna meminimalisir ancaman. Partisipasi dalam latihan militer gabungan seperti RIMPAC dan Garuda Shield menjadi lebih penting dalam meningkatkan interoperabilitas militer dan kesiapan menghadapi ancaman nuklir. Selain itu, diplomasi Indonesia di ASEAN juga harus diperkuat untuk memastikan respons kolektif dan koordinasi dalam menghadapi ancaman nuklir.
Untuk respon ancaman nuklir, Indonesia perlu meningkatkan kapabilitas pertahanan nuklir seperti pengembangan sistem peringatan dini, deteksi radiasi, dan fasilitas perlindungan sipil. Laporan dari Institute of Defence and Strategic Studies (2023) menjelaskan, langkah-langkah perlindungan sipil, termasuk pelatihan evakuasi dan penanganan darurat, perlu ditingkatkan di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia.
Indonesia memiliki tantangan dalam menyeimbangkan modernisasi militer dan kebutuhan pembangunan sosial dan ekonomi. Meningkatkan anggaran pertahanan untuk mengembangkan dan membeli sistem pertahanan anti-rudal dan memperkuat diplomasi pertahanan mungkin memerlukan alokasi sumber daya yang lebih besar. Namun, ini harus dilakukan tanpa mengabaikan kebutuhan pembangunan domestik dan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah, melalui Kementerian Pertahanan perlu terus mendorong zona bebas senjata nuklir di Asia Tenggara melalui SEANWFZ dan berpartisipasi aktif dalam forum-forum internasional seperti Konferensi Pelucutan Senjata di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mempromosikan stabilitas regional dan global. Global Security Review (2024) memaparkan, Indonesia bisa memilih diplomasi yang efektif untuk mengurangi ancaman nuklir dan memastikan keamanan jangka panjang.
Selaku negara anggota ASEAN dan Non-Blok, Indonesia memiliki posisi strategis untuk mendorong dialog dan de-eskalasi di tingkat internasional. Posisi ini bisa semakin kuat jika Kemlu meningkatkan diplomasi multilateral melalui forum-forum seperti ASEAN Regional Forum (ARF) dan Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur (EAS) untuk mempromosikan dialog damai dan pencegahan eskalasi konflik di Semenanjung Korea .
Konflik perang nuklir antara Korea Utara dan Korea Selatan harus diakui sebagai ancaman serius bagi perdamaian dunia dan kepentingan Indonesia. Indonesia harus terus mengembangkan strategi kebijakan luar negeri yang proaktif dan pertahanan yang kuat untuk melindungi WNI dan berperan dalam upaya global menjaga perdamaian dan stabilitas. Dalam menghadapi ancaman ini, kuncinya adalah pendekatan diplomasi multilateral dan kesiapsiagaan pertahanan yang lebih baik.
Baca Juga: Muncul Permintaan Penyelidikan Peran Selandia Baru dalam Perang di Gaza