Suara.com - Genosida yang dilakukan Israel di tanah Palestina tentu juga memberi dampak serius pada ekonomi Israel. Isu ini semakin menguat usai para ahli mengingatkan bahwa miliaran dolar yang dihabiskan untuk menghancurkan Gaza dan rakyat Palestina bisa menjadi beban berat bagi ekonomi Israel sendiri.
Menurut seorang peneliti ekonomi Israel, saat ini hampir tidak ada tanda-tanda pemulihan. Indikator ekonomi menunjukkan nilai yang lemah, investasi asing dan pariwisata menurun, serta eksodus warga yang meninggalkan Israel membuat masa depan negara itu kian suram.
"Krisis ekonomi hanya akan semakin memburuk. Tidak ada prospek pemulihan," kata ekonom politik Israel, Shir Hever, dalam wawancara dengan Anadolu, dikutip via Antara.
Pernyataan ini sejalan dengan penilaian Yoel Naveh, mantan kepala ekonom di Kementerian Keuangan Israel, yang menyatakan bahwa pemerintah harus bertindak dengan tegas dan segera untuk menghindari risiko krisis.
Kebijakan Israel saat ini, menurutnya, bisa membuat Israel mengalami krisis terburuk akibat perang hingga resesi yang membahayakan.
Serangan Israel ke Gaza yang menewaskan lebih dari 40.000 warga Palestina diperkirakan menghasibkan dana hingga lebih dari 67 miliar dolar AS (sekitar Rp1.047 triliun).
Bank Israel menyatakan pada Mei bahwa biaya perang akan melonjak hingga sekitar 250 miliar shekel hingga akhir tahun depan.
Ekonomi Israel hanya tumbuh sebesar 0,7 persen pada kuartal kedua tahun 2024, jauh di bawah prediksi analis Bursa Efek Tel Aviv yang sebesar 3 persen.
Pada bulan Agustus, rasio defisit anggaran terhadap PDB berada pada minus 8,3 persen, meningkat dari minus 7,6 persen pada bulan Juni, minus 6,2 persen pada bulan Maret, dan minus 4,1 persen pada Desember tahun lalu. Pada bulan Agustus 2024 saja, defisit anggaran mencapai 12,1 miliar shekel.
"Harga-harga tinggi. Standar hidup menurun. Ada inflasi. Nilai mata uang Israel menurun," kata Hever.