"Sudah tupoksi Kementerian ESDM dan LH untuk memeriksa langsung perusahaan yang memperoleh konsensi tambang, memang perlu diverifikasi perlakuan korporasi pada warga yang terdampak," ujarnya.
Ia menilai semestinya kedua kementerian tersebut bersama Pemerintah Daerah mendengar tuntutan publik, bukan hanya misalnya nanti terkait ganti rugi lingkungan, namun juga masa depan dari keberlangsungan lingkungan. Terlebih, selama ini wilayah tambang berdampingan dengan Tanah Hutan Rakyat.
Terkait perizinan tambang, Trubus menyebut semestinya perusahaan pemilik konsensi tambang mematuhi aturan Environmental Social Governance (ESG).Menurut Trubus, tata kelola berdasar ESG harus dipenuhi.
"ESG adalah kerangka kerja yang mengukur dampak lingkungan dan sosial suatu organisasi, dulu disebutnya Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), sekarang perizinan bidang tambang wajib memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan memenuhi standar ESG," tuturnya.
"Karena perusahaan itu tidak hanya mencari profit tapi juga membawa kelestarian dan keuntungan bagi masyarakat di sekitar. Jangan sampai seperti yang terjadi di Rempang," imbuhnya.
Ia menyebut misalnya ada dugaan praktek maladministrasi atau korupsi dalam perizinan, maka penegak hukum baik Polisi maupun Kejaksaan bisa memeriksa keabsahan dari perizinan tambang tersebut. "Penghentian operasi tambang bisa saja dilakukan jika ada dugaan perizinan belum lengkap, atau sanksinya bisa berbentuk ganti kompensasi lahan sudah rusak lebih dulu," lanjutnya.