Suara.com - Revisi terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang direncanakan oleh Komisi II DPR RI pada tahun 2025 tengah menjadi sorotan banyak pihak. Berikut adalah poin-poin utama dalam revisi UU ASN yang menjadi kontroversi.
Mengingat UU ini baru saja direvisi pada tahun 2023, wacana perubahan kali ini mengundang pro dan kontra terkait pengelolaan ASN di Indonesia.
Perubahan yang diusulkan mencakup perubahan pada satu pasal saja, yakni Pasal 30, yang mengatur kewenangan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat pimpinan tinggi ASN.
Kewenangan tersebut akan diubah sepenuhnya ke tangan Presiden, yang sebelumnya dibagi antara pusat dan daerah. Hal ini pun menjadi topik perdebatan.
Publik khawatir perubahan ini akan melemahkan otonomi daerah dalam mengelola Sumber Daya Manusia (SDM) birokrasi di daerah masing-masing. Berikut penjelasan selengkapnya.
Poin Utama dalam Revisi UU ASN yang Diusulkan
Pasal yang akan direvisi adalah Pasal 30, yang selama ini membagi kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah terkait pengelolaan ASN.
Dalam aturan yang berlaku saat ini, kewenangan untuk mengangkat, memindahkan, atau memberhentikan pejabat pratama (seperti kepala dinas) dan madya (seperti sekretaris daerah) di daerah diberikan kepada pejabat pembina kepegawaian daerah, seperti gubernur, bupati, atau wali kota.
Presiden, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan ASN, dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada kepala daerah.
Baca Juga: Momen Pramono dan Rano Karno Halal Bihalal Bareng ASN di Balai Kota DKI
Berikut adalah bunyi pasal 30 ayat 1: "Presiden dapat mendelegasikan kewenangan pembinaan Manajemen ASN kepada Pejabat yang Berwenang di kementerian, sekretaris jenderal/sekretariat lembaga negara, sekretariat lembaga nonstruktural, sekretaris daerah provinsi dan kabupaten/kota."
Namun, dalam revisi yang direncanakan, kewenangan ini akan ditarik sepenuhnya ke tangan Presiden. Dengan perubahan ini, Presiden akan memiliki kendali penuh untuk mengangkat, memindahkan, atau memberhentikan pejabat pimpinan tinggi pratama dan madya, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Hal ini termasuk jabatan-jabatan strategis seperti kepala dinas dan sekretaris daerah, yang sebelumnya diangkat oleh kepala daerah.
Tujuan utama dari revisi ini adalah untuk memastikan netralitas ASN dalam pilkada dan politik praktis, serta untuk memperkuat sistem merit dalam pengelolaan ASN.
Namun, perubahan yang diusulkan ini juga memunculkan pertanyaan besar tentang dampaknya terhadap hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.

Peran Presiden yang Diperluas dalam Revisi UU ASN
Jika UU ASN direvisi, Presiden akan memiliki kontrol yang lebih besar terhadap struktur ASN di seluruh Indonesia. Selain jabatan pimpinan tinggi madya yang sudah menjadi kewenangan Presiden, jabatan pimpinan tinggi pratama (seperti kepala dinas) juga akan langsung diangkat atau diberhentikan oleh Presiden.
Hal ini tentunya akan memberikan keseragaman dalam pengelolaan ASN, namun juga mengurangi otonomi daerah dalam mengelola pegawai negeri sipil.
Beberapa jabatan yang akan diatur langsung oleh Presiden antara lain Sekretaris Daerah Provinsi, Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota, Kepala Dinas, hingga pejabat di bawah Dirjen seperti Kepala Biro di kementerian.
Meskipun begitu, jabatan administrator dan pengawas di tingkat lebih rendah, seperti camat dan kepala bidang, masih akan tetap menjadi kewenangan pemerintah daerah atau kementerian terkait.
Kontroversi dan Penolakan terhadap Revisi UU ASN
Revisi ini memicu kontroversi dari berbagai pihak yang khawatir akan dampaknya terhadap desentralisasi dan otonomi daerah.
Zulfikar Arse Sadikin, salah satu tokoh yang menentang perubahan ini, berpendapat bahwa pengambilalihan kewenangan tersebut akan mengurangi peran otonomi daerah dalam pengelolaan sumber daya manusia birokrasi di tingkat daerah.
Mengutip dari ANTARA, Zulfikar menilai bahwa langkah ini bertentangan dengan semangat desentralisasi yang tertuang dalam UUD 1945, yang mengutamakan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Zulfikar juga menyebutkan bahwa perubahan ini akan menafikan kewenangan pejabat pembina kepegawaian di daerah, yang sebelumnya memiliki peran dalam mengelola ASN sesuai dengan kebutuhan lokal.
Menurutnya, hal ini dapat mengurangi fleksibilitas dalam pengelolaan ASN di berbagai daerah, yang tentunya memiliki kebutuhan dan karakteristik yang berbeda-beda.
Demikianlah informasi terkait poin-poin utama dalam revisi UU ASN dan kontroversinya.
Kontributor : Dini Sukmaningtyas