Suara.com - Nama Kintan Juniasari, karyawan PT Chang Shin yang meninggal dunia usai kecelakaan kerja, diduga menjadi korban malpraktik di rumah sakit umum (RSU) Fikri Karawang mendadak viral. Kintan meninggal usai menjalani operasi kecil di rumah sakit akibat jarinya putus setelah terjepit di mesin produksi, Selasa (22/4/2025).
Namun, berdasarkan informasi yang beredar di media sosial, Kintan mengalami muntah sebagai efek dari suntikan anestesi. Setelah prosedur operasi berjalan, Kintan diketahui telah meninggal dunia. Sejumlah netizen menyebut tindakan ini sebagai malpraktik kendati pihak rumah sakit belum memberikan keterangan resmi.
Pihak keluarga pun menyayangkan tindakan yang mengharuskan Kintan dibius total padahal luka yang dialaminya hanyalah luka kecil di ujung jari.
“Masih dunia nakes, kemarin dibius trus dilecehkan, sekarang dibius trus meninggal,” cuit seorang pengguna Twitter.
Kasus Malpraktik di Indonesia
Kasus – kasus di bidang kedokteran yang diduga malpraktik bukan satu – dua kali terjadi di Indonesia. Sejumlah kasus sempat bikin heboh publik karena berujung pasien yang meninggal dunia. Korbannya bukan hanya Kintan Juniasari. Pada Desember 2024 lalu, seorang ibu berinisial FF membuat melaporan seorang dokter yang bekerja di salah satu rumah sakit di Jakarta Barat (Jakbar) ke Konsil Kesehatan Indonesia. FF diduga menjadi korban malpraktik dari dokter tersebut.
Kuasa hukum Uly Samura and Associates, Haris Azhar menyebut kliennya sangat yakin atas kejadian malpraktik ini. Sebab, terdapat banyak kejanggalan atas tindakan dari si dokter kepada korban.
"Saya nggak sebutkan dulu nama dokternya, yang kami duga dan kami sebenarnya dugaannya sangat kuat dan berkeyakinan, dokter tersebut melakukan malpraktik baik dari sebelum melakukan tindakan maupun saat melakukan tindakan, bahkan sampai setelah melakukan tindakan," ujarnya.
Haris mengatakan, dugaan malpraktik tersebut terjadi karena sang dokter salah mengangkat saluran tuba milik FF. Akibatnya, kini FF tidak bisa lagi mengandung. Karena itu, Haris menilai malpraktik yang dilakukan dokter itu tergolong serius. Selain soal pembedahan, FF melalui kuasa hukumnya hendak melaporkan praktik lain yang dilakukan sang dokter. Misalnya, melaporkan soal ketika dokter itu memaksa FF untuk menyetujui operasi tanpa waktu konsultasi yang panjang serta memberikan keterangan bohong pasca-pembedahan.
Baca Juga: Tragedi Berulang: Smelter Nikel Meledak Lagi di Morowali, 2 Karyawan Jadi Korban
Pidana untuk Tindakan Malpraktik
Melansir Hukumonline, pada peraturan perundang-undangan Indonesia yang sekarang berlaku tidak ditemukan pengertian mengenai malpraktik. Akan tetapi makna atau pengertian malpraktik justru didapati dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b UU No. 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan (“UU Tenaga Kesehatan”) yang telah dinyatakan dihapus oleh UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Oleh karena itu secara perundang-undangan, ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Tenaga Kesehatan dapat dijadikan acuan makna malpraktik yang mengidentifikasikan malpraktik dengan melalaikan kewajiban, berarti tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.
Selain itu, klien atau pasien sebagai pengguna jasa juga merupakan konsumen sehingga dalam hal ini berlaku juga ketentuan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”). Profesi-profesi sebagaimana disebutkan di atas termasuk sebagai pelaku usaha (Pasal 1 angka 3 UUPK), yang berarti ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPK berlaku pada mereka:
“Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.”
Jadi, tindakan seperti apa yang termasuk sebagai malpraktik ditentukan oleh organisasi profesi atau badan khusus yang dibentuk untuk mengawasi tugas profesi berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kode etik masing-masing profesi. Setiap tindakan yang terbukti sebagai tindakan malpraktik akan dikenakan sanksi.
Kontributor : Nadia Lutfiana Mawarni