Suara.com - Wall Street mengalami pelemahan pada perdagangan Senin (5/5/2025) (Selasa waktu WIB), dengan seluruh indeks utama mencatatkan penurunan. Sentimen negatif ini dipicu oleh pernyataan terbaru Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang kembali menimbulkan ketidakpastian seputar kebijakan tarif perdagangan.
Di sisi lain, para investor juga tengah bersiap menanti pengumuman kebijakan moneter dari bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), yang dijadwalkan pada pekan ini.
Indeks S&P 500 terkoreksi sebesar 0,64%, diikuti oleh penurunan Nasdaq Composite sebesar 0,74%, dan Dow Jones Industrial Average yang melemah 0,24%. Pergerakan ini mencerminkan kehati-hatian pelaku pasar dalam menyikapi arah kebijakan ekonomi AS ke depan.
Data ekonomi yang dirilis pada hari yang sama oleh Institute for Supply Management (ISM) menunjukkan bahwa aktivitas sektor jasa AS pada bulan April melampaui ekspektasi. Meskipun data ini secara fundamental positif, namun tidak mampu mengimbangi kekhawatiran pasar terkait potensi perang dagang.
Lebih lanjut, sentimen pasar sempat diwarnai laporan dari Bloomberg yang menyebutkan bahwa India mengajukan proposal tarif nol untuk produk baja, komponen otomotif, dan farmasi secara timbal balik dengan batasan kuantitas tertentu.
Di tengah isu ini, Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyatakan bahwa Amerika Serikat hampir mencapai beberapa kesepakatan dagang. Pernyataan ini sejalan dengan komentar Presiden Trump sehari sebelumnya yang mengindikasikan bahwa perjanjian dagang mungkin tercapai dalam waktu dekat.
"Kami sedang bernegosiasi dengan banyak negara, tetapi pada akhirnya, saya sendiri yang akan membuat kesepakatan, karena saya yang menentukan kesepakatan, bukan mereka," ujar Trump kepada awak media, menegaskan peran sentralnya dalam negosiasi perdagangan.
Namun, Trump juga menyampaikan bahwa dirinya tidak berencana untuk melakukan pembicaraan dengan Presiden China Xi Jinping. Pernyataan yang kontradiktif ini semakin menambah ketidakpastian di kalangan investor mengenai prospek hubungan dagang AS dengan mitra-mitra utamanya.
Pasar Asia Bervariasi, Australia Tertekan Pasca Pemilu
Baca Juga: Ikuti Rupiah, IHSG Juga Berakhir 'Strong' pada Perdagangan Hari Ini
Pergerakan pasar saham global juga dipengaruhi oleh dinamika di kawasan Asia. Bursa saham Australia mencatatkan penurunan signifikan sebesar 0,97% pada indeks ASX 200. Koreksi ini terjadi setelah Anthony Albanese kembali terpilih sebagai Perdana Menteri Australia, menjadikannya PM pertama yang berhasil mempertahankan kekuasaan selama dua periode berturut-turut dalam 21 tahun terakhir.
Kemenangan Albanese dianggap sebagai sinyal stabilitas kebijakan di tengah ketidakpastian ekonomi global. Sementara itu, mayoritas bursa saham utama di Asia seperti Jepang, Korea Selatan, Hong Kong, dan China terpantau tutup karena hari libur.
IHSG Bergerak Positif di Tengah Perlambatan Ekonomi Domestik
Di tengah pelemahan yang terjadi di Wall Street dan sebagian besar pasar Asia yang libur, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) justru menunjukkan tren positif. Pada perdagangan sebelumnya, IHSG ditutup menguat sebesar 0,24%, dengan catatan arus modal asing masuk (net buy) sebesar kurang lebih Rp87 miliar. Saham-saham perbankan besar seperti BBCA dan BMRI menjadi incaran investor asing, selain ANTM, BBNI, dan BRIS.
Secara teknikal, analis memperkirakan IHSG masih berpotensi mengalami koreksi terbatas pada perdagangan hari ini, dengan level support di kisaran 6760-6800 dan resistance di rentang 6850-6900.
Fenomena menariknya, penguatan IHSG terjadi di tengah data pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat menjadi 4,87% pada kuartal I-2025, angka terendah sejak kuartal III-2021. Optimisme investor di pasar modal Indonesia tampaknya didukung oleh penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Sentimen ini dipicu oleh ekspektasi bahwa tekanan inflasi global mulai mereda, yang berpotensi membuat The Fed mengambil kebijakan moneter yang lebih akomodatif pada paruh kedua tahun ini.
Meskipun pertumbuhan konsumsi rumah tangga domestik masih lemah dan investasi swasta tertahan oleh suku bunga yang tinggi serta ketidakpastian global, pelaku pasar di Indonesia mulai mengantisipasi adanya pemulihan ekonomi pada semester kedua tahun ini. Hal ini tercermin dari aliran dana asing yang masih masuk ke pasar saham, menunjukkan kepercayaan terhadap prospek ekonomi Indonesia ke depan.
Secara keseluruhan, kondisi pasar global saat ini diwarnai oleh ketidakpastian yang bersumber dari kebijakan perdagangan AS dan antisipasi terhadap langkah The Fed. Sementara itu, pasar Indonesia menunjukkan resiliensi dengan penguatan IHSG, didukung oleh sentimen positif terhadap nilai tukar rupiah dan harapan pemulihan ekonomi di paruh kedua tahun ini. Perbedaan dinamika ini menyoroti kompleksitas sentimen investor di berbagai belahan dunia dalam menghadapi tantangan ekonomi global saat ini.