Suara.com - Staf Khusus Bidang Peningkatan Peran dan Peluang Usaha Disabilitas, Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM Agus Diono mengatakan bahwa penyandang disabilitas harus menjadi bagian dari strategi pembangunan ekonomi nasional.
“Isu disabilitas ini bukan hanya soal keberpihakan, ini soal ekonomi bangsa. Kita bicara 23 juta jiwa—8,5 persen dari populasi. Mereka harus dilihat sebagai tenaga kerja potensial, bukan beban,” ujar Agus Diono dalam acara diskusi bertajuk "Akses Pendidikan dan Kesejahteraan untuk Disabilitas” Jakarta dikutip Senin (12/5/2025).
Menurutnya hal ini sejalan dengan UU No. 8 Tahun 2016 yang mewajibkan pemerintah dan BUMN mempekerjakan minimal 2 persen tenaga kerja disabilitas, dan perusahaan swasta sebesar 1 persen.

Agus juga memaparkan strategi percepatan inklusi ekonomi yang tengah digalakkan kementeriannya, antara lain: Fasilitasi legalitas usaha disabilitas lewat Nomor Induk Berusaha (NIB), Pendampingan usaha kecil disabilitas menuju level menengah hingga besar,nKemitraan strategis dengan pelaku usaha nasional, Promosi aktif UMKM disabilitas, dan Harmonisasi kebijakan antar kementerian/lembaga.
“Kalau Presiden Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 persen hingga 2029 dengan kebutuhan serapan tenaga kerja 3,3 juta per tahun, maka penyandang disabilitas harus ada dalam peta itu. Ini tentang dignity dan keadilan,” katanya.
Ditempat yang sama, Direktur Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Kemendikbudristek, Saryadi, S.T., M.B.A., menegaskan bahwa pemerintah telah memiliki payung hukum yang kuat untuk memperjuangkan akses pendidikan yang inklusif, selaras dengan Asta Cita Presiden terpilih.
“Kami memastikan kurikulum dan pelatihan guru di sekolah reguler makin ramah disabilitas. Sekolah khusus juga terus ditingkatkan dari segi kualitas dan fasilitas,” ujar Saryadi.
Sementara pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Wawan Sofanudin dari Dinas Pendidikan DKI menambahkan bahwa Jakarta telah mengakomodasi pendidikan inklusif baik di sekolah negeri maupun swasta.
Namun, ia mengakui bahwa kapasitas guru di sekolah reguler masih menjadi tantangan besar.
Baca Juga: Fenomena Pernikahan Anak di Cilincing: Terungkap! Krisis Iklim Lebih dari Sekadar Cuaca Panas
“PR besar kita adalah meningkatkan kompetensi guru di sekolah reguler agar bisa menangani peserta didik disabilitas secara tepat,” katanya.
Irdanelly Djamal, perempuan penyandang disabilitas, menyampaikan tantangan dari sisi pengguna layanan. Ia mengungkapkan bahwa sekolah inklusi masih belum merata, akses transportasi tidak layak, dan fasilitas kesehatan belum sepenuhnya inklusif. “Jangan bangun tanpa dengar suara kami. Libatkan penyandang disabilitas dalam setiap proses pembangunan fasilitas publik,” katanya tegas.
Sementara itu, tokoh muda disabilitas inspiratif, Amatullah Baslimah pendiri TK khusus anak-anak tuli di usia 17 tahun menekankan pentingnya perubahan paradigma. “Kami bukan sekadar objek bantuan. Kami punya potensi. Fokuslah ke potensi kami, bukan pada kekurangan kami,” ucap Amatullah dalam pandangannya. Ia juga dikenal sebagai salah satu penyusun Quran Isyarat pertama di dunia.
Sedangkan Ketua panitia Mulyadin Permana dalam sambutannya menyoroti kenyataan bahwa akses pendidikan tinggi bagi penyandang disabilitas masih sangat rendah, hanya sekitar 5%. Ia mendorong adanya kolaborasi lintas sektor untuk menjawab kesenjangan ini. “Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri. Kami harap kolaborasi antara negara, masyarakat, dan organisasi keagamaan bisa jadi solusi yang nyata,” ujar Mulyadin menambahkan.
Senada, Ketua PWNU DKI Jakarta, KH. Syamsul Ma’arif, menyampaikan harapannya agar hasil workshop ini dapat dirumuskan menjadi rekomendasi kebijakan yang disampaikan langsung ke pemerintah.
“Jangan sampai tema hanya jadi slogan. Harus ada dorongan agar semua pihak mengambil bagian dalam memastikan akses disabilitas lebih adil,” kata KH. Syamsul Ma'arif dalam pandangannya.