Dampak PP 28/2024 juga dirasakan langsung oleh pelaku usaha mikro dan pedagang ritel. Wakil Ketua Umum Asosiasi Koperasi Ritel Indonesia (AKRINDO), Anang Zunaedi, menyoroti aturan larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak sebagai kebijakan yang tidak realistis dan berpotensi memicu konflik sosial.
"Karena memang mungkin harus sangat hati-hati ya, karena nanti akan timbul pasti konflik sosial, itu pasti," ujar Anang.
Pasalnya, jika ada penegakan dapat membuat pedagang kecil kewalahan karena memungkinkan penyitaan barang dagangan hingga larangan berdagang. Padahal barang dagangan itu, termasuk rokok, merupakan produk unggulan dengan perputaran cepat sebagai pelaku ekonomi mandiri yang tidak menggantungkan hidup atas bantuan pemerintah.
Anang berpendapat bahwa aturan zonasi larangan itu sebaiknya tidak diterapkan, sebab sangat tidak memungkinkan dan bias untuk diimplementasikan. Banyak pedagang skala mikro dan ultra-mikro yang berdagang sebelum satuan pendidikan atau tempat bermain anak itu ada.
"Lalu di satu sisi juga, pedagang itu ‘kan tidak menyasar mereka yang ada di satuan pendidikan itu, tapi mereka menyasar konsumen dewasa. Harusnya disurvei dulu ya, jadi disurvei dulu bagaimana konsumennya," imbuhnya.
Ia mengingatkan, PP 28/2024 dapat berpengaruh besar pada penjualan pedagang. Omzet para pedagang dari penjualan rokok bisa berkontribusi 20-30% dari total penjualannya, bahkan di tingkat pedagang mikro, kontribusinya bisa lebih besar lagi, karena barang yang dijual tidak banyak, dengan produk utama adalah rokok.
Anang menilai pendekatan edukatif jauh lebih efektif dibandingkan regulasi ketat. Edukasi kepada pedagang dan pelajar dinilai sebagai langkah awal yang lebih bijak untuk mengendalikan konsumsi.
"Yang perlu itu kontrolnya. Kenapa tidak dimulai dengan edukasi dulu, ya ke pedagangnya, kemudian ke pelajarnya, itu kan lebih penting," tegasnya.
AKRINDO pun sependapat bahwa pasal tembakau dalam PP 28/2024 untuk dibatalkan. Tidak hanya memperhitungkan dampak negatif yang dihasilkan, tetapi juga proses pembuatan kebijakan yang minim partisipasi publik, terutama pihak-pihak yang diatur. "Belum pernah ada ajakan diskusi dari pemerintah dalam proses penyusunan kebijakan. Kita belum pernah diundang atau diajak bicara, baik koperasi, UMKM, yang ultramikro," tutupnya.
Baca Juga: BKPM Siapkan Jurus Jitu Redam Premanisme Proyek Agar Investor Aman, Lokal Kebagian