Suara.com - Polemik seputar Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) kembali mengemuka di tengah wacana penguatan regulasi tembakau di Indonesia. Perjanjian internasional yang digagas oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak tahun 2002 ini kembali menuai sorotan, terutama karena kekhawatiran akan potensi intervensi asing terhadap kebijakan nasional Indonesia.
Meski Pemerintah Indonesia hingga saat ini secara resmi menolak meratifikasi FCTC, berbagai pihak menilai ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut telah menyusup secara halus ke dalam sistem hukum nasional. Hal ini dinilai berisiko melemahkan kedaulatan Indonesia, terutama dalam menentukan kebijakan yang berhubungan dengan sektor strategis seperti industri pertembakauan.
Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, menilai keputusan Indonesia untuk tidak meratifikasi FCTC sebagai langkah penting menjaga kedaulatan negara dari intervensi asing.
“Lalu apa yang mereka akan lakukan? Ini tangan-tangan dari luar yang ingin mengganggu kedaulatan kita. Mereka mencoba melakukannya untuk meminta Indonesia tidak meratifikasi, tapi mengadopsi,” jelasnya.
Menurut Prof. Hikmahanto, meskipun Indonesia secara formal tidak menandatangani atau meratifikasi FCTC, terdapat upaya sistematis untuk menyisipkan isi perjanjian itu ke dalam regulasi domestik. Salah satunya adalah melalui regulasi turunan dari PP 28/2024, yang tengah mempertimbangkan penerapan kebijakan plain packaging atau kemasan polos tanpa identitas merek pada produk rokok.
Bagi Hikmahanto, pendekatan seperti ini merupakan bentuk baru penjajahan yang tak lagi mengandalkan kekuatan militer, melainkan melalui instrumen hukum internasional yang dibuat oleh lembaga-lembaga global.
"Sekarang dia tidak menggunakan asas konkordansi yang dibenarkan melalui alat kolonialisme, tetapi sekarang itu disebut sebagai penjajahan model baru menggunakan perjanjian internasional untuk melakukan intervensi terhadap kedaulatan suatu negara," tambahnya.
Ia juga menilai bahwa tekanan untuk mengadopsi prinsip-prinsip FCTC bukan hanya datang dari organisasi internasional, tetapi juga dari kelompok-kelompok advokasi domestik yang mengutip FCTC sebagai landasan dalam menyusun berbagai regulasi.
Sebagai perbandingan, Hikmahanto mengangkat sikap Amerika Serikat dalam menyikapi berbagai perjanjian internasional. Negara adidaya itu, menurutnya, selalu menempatkan kedaulatan nasional di atas segalanya, meski mereka turut aktif dalam proses perumusan konvensi internasional.
Baca Juga: IHT Terus Tertekan, Pelaku Usaha Minta Pemerintah Deregulasi Aturan
"Nah, jadi kita pun harus seperti Amerika Serikat yang tahu betul apa arti dari suatu kedaulatan. Kalau misalnya kepentingan nasional kita terganggu dengan perjanjian-perjanjian yang dibuat secara internasional, kita akan mengatakan kita tidak akan ikut dalam perjanjian tersebut," beber dia.
Sebelumnya, Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia tengah menghadapi tekanan serius yang mengancam keberlanjutan sektor ini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada kuartal I-2025, industri pengolahan tembakau mengalami kontraksi sebesar 3,77% (year-on-year/yoy). Padahal, pada periode yang sama tahun 2024, sektor ini masih mencatatkan pertumbuhan positif sebesar 7,63% yoy.
Penurunan tajam ini menunjukkan bahwa IHT semakin berada dalam posisi yang tertekan oleh berbagai faktor, seperti tingginya kenaikan tarif cukai tahunan, pelemahan daya beli masyarakat, dan semakin maraknya peredaran rokok ilegal. Tekanan dan penurunan tajam ini dikhawatirkan akan diperburuk oleh berbagai kebijakan yang dinilai membebani industri, salah satunya implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan dan aturan turunannya seperti rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tentang penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek (plain packaging).
Beberapa pasal dalam regulasi tersebut dianggap menekan ruang gerak pelaku usaha di sektor tembakau. Selain itu,sektor industri tembakau juga terus menghadapi ketidakpastian usaha yang dipicu oleh berbagai wacana aturan turunan PP 28/2024dan kenaikan tarif cukai tiap tahunnya.
Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) RI, Faisol Riza sebelumnya menyampaikan bahwa Kementerian Perindustrian telah mencapai kesepakatan dengan Kementerian Kesehatan untuk membatalkan rencana penerapan plain packaging dalam Rancangan Permenkes, sebagai bagian dari aturan turunan PP 28/2024. Langkah ini diambil untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kesehatan masyarakat.
"Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga memahami kepentingan industri, ketika kita sampaikan bahwa janganlah itu diseragamkan (kemasan rokok) karena industri meminta untuk tidak ada isu yang semakin menekan industri," ujar Faisol Riza.