Suara.com - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan yang baru saja disahkan pemerintah menuai kritik tajam dari berbagai kalangan.
Alih-alih menjadi landasan untuk memperkuat sistem kesehatan nasional, PP ini justru dinilai lemah dari sisi koordinasi lintas kementerian dan berpotensi menimbulkan dampak luas terhadap sektor-sektor industri strategis seperti pertembakauan dan makanan-minuman.
Sejumlah pasal dalam PP 28/2024 mengatur ketat konsumsi dan pemasaran produk yang mengandung Gula, Garam, dan Lemak (GGL).
Salah satu poin yang paling disorot adalah larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter serta pelarangan iklan rokok di luar ruang dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran serius dari para pelaku industri. Mereka menilai pembatasan tersebut bisa mengancam kelangsungan hidup ekosistem industri yang selama ini menyerap jutaan tenaga kerja, dari petani tembakau, buruh pabrik, hingga pedagang kecil di seluruh Indonesia.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menilai, regulasi ini kurang melibatkan berbagai kementerian dan pemangku kepentingan dalam penyusunannya.
"PP 28/2024 ini sebenarnya ketentuan yang bisa meredam ego sektoral dari satu kementerian ke kementerian lain dan bagaimana pemerintah kita membuat aturan yang lebih adil. Adil bagi para pelaku usahanya, perkebunan sebagai suatu industri strategis di Indonesia, perusahaan-perusahaan rokok, dan adil juga bagi konsumen," ujar dia kepada media yang ditulis, Senin (2/6/2025).
Hikmahanto menekankan pentingnya keterlibatan seluruh pihak dalam merumuskan kebijakan lintas sektor agar tidak menimbulkan tumpang tindih dan konflik kepentingan. Menurutnya, peran Kementerian Koordinator sangat vital dalam menyatukan kepentingan kementerian-kementerian teknis.
"Kementerian Kesehatan (Kemenkes) walaupun mereka akan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), tapi harus berkoordinasi dengan kementerian-kementerian lainnya. Nah, di sinilah pentingnya Menteri Koordinator (Menko). Menko sekarang sudah ada beberapa Menko itu harus bisa memastikan bahwa kepentingan kita, kepentingan kementerian-kementerian itu semua terakomodasi," beber dia.
Baca Juga: Bentoel Dukung Pencegahan Akses Rokok dan Produk Nikotin Bagi Anak di Bawah Umur
Tak hanya itu, rencana pemerintah untuk menerapkan plain packaging atau kemasan rokok polos tanpa identitas merek yang tengah digodok dalam Permenkes sebagai aturan turunan dari PP 28/2024 juga menuai penolakan. Kebijakan ini dianggap berpotensi menghancurkan ekosistem pertembakauan nasional.
Para pengamat dan pelaku industri menilai kebijakan tersebut akan meningkatkan peredaran rokok ilegal karena kemasan polos memudahkan pemalsuan. Selain itu, ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor hilir juga menjadi kekhawatiran utama.
Lebih jauh, kebijakan plain packaging ini disebut-sebut mengadopsi prinsip dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), perjanjian internasional yang hingga kini belum diratifikasi oleh Indonesia.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan masuknya pengaruh asing dalam kebijakan domestik di bidang kesehatan dan industri.
Sementara, Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, yang mempertanyakan legalitas dari penyusunan PP 28/2024 tersebut.
"Kalau misalnya terbukti PP (28/2024) dibuat tanpa ada partisipasi. Ya berarti secara prosedur cacat. Berarti dibatalkan, secara formilnya tidak terpenuhi. Cacat. Itu kita belum bicara substansi loh," imbuh Eddy.