Suara.com - Di tengah hiruk pikuk perdebatan mengenai potensi dampak lingkungan dari aktivitas pertambangan nikel, khususnya yang melibatkan anak usaha Antam, PT GAG Nikel, di Raja Ampat, Papua, Indonesia sesungguhnya berada pada posisi yang dilematis.
Pasalnya, negara kepulauan ini patut berbangga karena menyandang gelar sebagai produsen nikel terbesar di dunia, sebuah fakta yang menempatkan Indonesia sebagai pemain kunci dalam rantai pasok nikel global.
Data dari Booklet Nikel 2020 yang dirilis oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa cadangan nikel Indonesia mencapai angka fantastis: 72 juta ton. Jumlah ini mencakup cadangan nikel berkadar rendah (limonit) dan berkadar tinggi (saprolit).
Angka ini bukan main-main, karena setara dengan 52 persen dari total cadangan nikel dunia yang diperkirakan sebesar 140 juta ton. Ini berarti lebih dari separuh cadangan nikel bumi ada di perut bumi Nusantara.
Tak hanya soal cadangan, dominasi Indonesia juga terlihat jelas dalam hal produksi. Indonesia memimpin daftar negara produsen nikel dengan output mencapai 800 ribu ton per tahun. Jauh di belakangnya, ada Filipina dengan 420 ribu ton, Rusia 270 ribu ton, Kaledonia Baru 220 ribu ton, Australia 180 ribu ton, dan Kanada 180 ribu ton. Bahkan negara-negara besar seperti Tiongkok, Brazil, dan Amerika Serikat pun memiliki produksi yang jauh di bawah Indonesia.
Nikel sendiri, sebagai logam mineral berwarna putih keperakan yang mengkilap dan sedikit keemasan, memiliki sifat keras dan menjadi komoditas yang sangat dicari.
Dengan perkembangan teknologi dan industri, permintaan akan nikel terus melonjak, terutama dari negara-negara yang ambisius dalam pengembangan kendaraan listrik dan energi terbarukan. Hal ini membuat banyak negara saat ini "berburu" nikel, dan Indonesia menjadi target utama berkat cadangan dan produksi yang melimpah.
Kendati demikian, keberuntungan ini juga membawa tantangan besar. Isu keberlanjutan dan dampak lingkungan dari pertambangan nikel, seperti yang mencuat di Raja Ampat, menjadi perhatian serius.
Bagaimana Indonesia dapat mengelola kekayaan nikelnya secara bertanggung jawab, memastikan manfaat ekonomi yang optimal, namun tetap menjaga kelestarian lingkungan demi generasi mendatang, menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Baca Juga: Legislator PKB soal Polemik Tambang Nikel di Raja Ampat: Cabut IUP dan Harus Ditutup Permanen!
Nikel adalah logam transisi berwarna putih keperakan yang memiliki peran krusial dalam berbagai industri modern.
Dikenal karena ketahanannya terhadap korosi, kekuatan, dan kemampuan untuk meningkatkan sifat material lain, nikel menjadi komponen penting dalam banyak aplikasi.
Salah satu penggunaan utama nikel adalah dalam produksi baja tahan karat. Penambahan nikel meningkatkan ketahanan baja terhadap karat dan oksidasi, menjadikannya ideal untuk peralatan dapur, konstruksi, dan aplikasi industri lainnya.
Selain itu, nikel juga digunakan dalam pembuatan baterai, terutama baterai nikel-metal hidrida (NiMH) dan baterai lithium-ion (Li-ion) yang semakin populer untuk kendaraan listrik dan perangkat elektronik portabel.
Permintaan akan nikel terus meningkat seiring dengan pertumbuhan industri kendaraan listrik. Nikel membantu meningkatkan kepadatan energi dan stabilitas baterai, yang sangat penting untuk performa dan jangkauan kendaraan listrik.
Hal ini menjadikan nikel sebagai komoditas strategis dalam transisi menuju energi bersih. Indonesia dan Filipina adalah dua negara produsen nikel terbesar di dunia.