Sebelumnya, Kementerian ESDM mencabut IUP 4 perusahaan tambang dari 5 yang memiliki izin eksplorasi di wilayah Raja Ampat, mereka adalah PT Anugerah Surya Pratama, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Nurham.
Menurut Bahlil keempat perusahaan ini terbukti melakukan pelanggaran lingkungan berdasarkan laporan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup.
Bahlil menjelaskan, PT Gag Nikel dinilai berbeda dari perusahaan-perusahaan lain yang telah dicabut izinnya, baik dari sisi pengelolaan lingkungan maupun kontribusi terhadap masyarakat lokal.
Kekinian, Pulau Gag dihuni oleh sekitar 700 warga atau sekitar 300 kepala keluarga (KK), yang sebagian besar menggantungkan harapan pada keberadaan perusahaan tersebut.
"Saya melihat langsung ke sana, dan ternyata kondisi lingkungan tidak seperti yang banyak diberitakan. Kalau ada yang bilang lautnya tercemar, terumbu karang rusak mohon maaf, bisa dilihat sendiri kondisinya," imbuh Bahlil.
Dari total konsesi seluas 13.000 hektare yang dimiliki PT Gag, hanya sekitar 260 hektare yang dibuka untuk produksi. Dari luas tersebut, sekitar 130 hektare sudah direklamasi dan 54 hektare bahkan telah dikembalikan kepada negara.
Saat ini, operasi tambang masih berlangsung di area seluas kurang lebih 130 hektare, yang akan direklamasi setelah masa produksi selesai.
Bahlil menambahkan, pemerintah akan meminta PT Gag untuk selalu melaporkan analisis mengenai dampak lingkungan, sebagai syarat utama keberlanjutan aktivitas tambang.
"Ini adalah proses bagaimana kita melakukan amdal yang baik. Pemerintah ingin memastikan bahwa kegiatan tambang tidak merusak alam Raja Ampat, tetapi di sisi lain juga bisa memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar," beber Bahlil.
Baca Juga: Bahlil Tegaskan Pencabutan IUP Bukan Gara-gara Aduan Greenpeace