Suara.com - Paramount Global memberhentikan 3,5 persen stafnya di Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan anjloknya penurunan pada pelanggan tv kabel.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) tersebut diumumkan kepada stafnya pada Selasa pagi. Tentunya, PHK ini memengaruhi beberapa tenaga kerja non-AS. Adapun, pemangkasan ini merupakan tambahan dari pemotongan 15 persen yang pernah diumumkan Agustus lalu.
PHK ini terjadi saat industri media menghadapi gangguan antar generasi karena jutaan pengguna kabel memutus sambungan dan memilih layanan streaming seperti Netflix.
"Kami mengambil langkah-langkah yang sulit, tetapi perlu untuk lebih merampingkan organisasi kami mulai minggu ini," tulis Co-CEO Paramount George Cheeks, Chris McCarthy, dan Brian Robbins dalam memo tersebut dilansir Reuters, Rabu (11/6/2025).
Sebagai informasi, Paramount memiliki 18.600 karyawan per 31 Desember 2024. Adapun, Perusahaan tersebut telah mengajukan rencana merger senilai 8,4 miliar dolar AS dengan Skydance Media milik David Ellison, pewaris miliarder David Ellison.
Namun, kesepakatan tersebut belum mendapatkan persetujuan regulatori, karena masih menunggu gugatan senilai 10 miliar dolar AS yang diajukan Presiden AS Donald Trump terhadap CBS News pada bulan Oktober.
Sementara itu, tidak hanya Paramount yang melakukan PHK pada karyawannya.
Beberapa perusahaan juga mengalami kerugian. Salah satunya, pada perusahaan Petronas yang ikut memangkas karyawannya.
Adapun, Perusahaan energi asal Malaysia Petroliam Nasional atau Petronas bersiap memangkas sekitar 10 persen tenaga kerjanya. Langkah tersebut dilakukan dalam upaya restrukturisasi agar bisa menghemat anggarannya tahun ini.
Baca Juga: Utang Makin Tinggi, Negara Amerika Mau Dijual di Pasar Saham?
Kepala Eksekutif Petronas Tengku Muhammad Taufik mengatakan keputusan pemutusan hubungan kerja (PHK) perlu 'menyesuaikan' tenaga kerjanya untuk memastikan kelangsungan hidup perusahaan dalam beberapa dekade mendatang.
Petronas memiliki hampir 50 ribu karyawan. Adapun sekitar 5 ribu karyawannya bakal terkena PHK.
"Ini adalah bagian dari restrukturisasi organisasi yang perlu dilakukan agar perusahaan tetap adaptif dan berdaya tahan dalam menghadapi dinamika pasar energi global yang terus berubah," katanya.
Bloomberg sebelumnya melaporkan, pada hari Selasa, Petronas sedang mempertimbangkan penjualan perusahaan Kanada-nya, yang sebelumnya dikenal sebagai Progress Energy Resources Corp. Namun, hal itu dibantah langsung Petronas.
"Kanada sangat penting bagi ambisi kami untuk mempertahankan posisi kami di sektor gas alam cair," kata Tengku Taufik.

Tidak hanya itu, anjloknya harga minyak—ditambah dengan menurunnya produksi dari kilang-kilang tua—akan menjadi tantangan bagi Pemerintah Malaysia, yang memperoleh 10 persen pendapatannya dari Petroliam Nasional Bhd, nama lengkap perusahaan tersebut, pada 2024.
Produsen energi ini tidak hanya menjadi tulang punggung sektor energi negara, tetapi juga berperan penting dalam mendanai infrastruktur, pendidikan, dan program sosial melalui dividen dan pajak.
Taufik mengungkap bahwa Petronas menetapkan anggaran berdasarkan harga minyak Brent sekitar 75 dolar AS hingga 80 dolar ASper barel.
Patokan global saat ini diperdagangkan mendekati 65 dolar AS atau turun sekitar 13 persen tahun ini karena ketegangan perdagangan mengancam pertumbuhan global dan OPEC+ memulihkan produksi.
Laba bersih Petronas turun 32 persen pada tahun 2024, setelah merosot sebesar 21 persen pada tahun 2023.
Tengku Muhammad Taufik Tengku Aziz mengatakan bahwa Petronas membutuhkan perampingan organisasi untuk menjamin masa depan raksasa migas asal Malaysia itu.
"Alasan untuk melakukan ini adalah untuk memastikan kelangsungan hidup Petronas dalam beberapa dekade mendatang," katanya. [Rina Anggraeni]