Dear Pak Prabowo! Ekonomi RI Tak Menggembirakan, Rakyat Tak Pegang Duit

Selasa, 17 Juni 2025 | 13:50 WIB
Dear Pak Prabowo! Ekonomi RI Tak Menggembirakan, Rakyat Tak Pegang Duit
Presiden Prabowo Subianto mendapat hadiah uang kuno yang bertanda tangan sang ayah, Soemitro Djojohadikoesoemo. (Foto: Tangkapan Layar YouTube Sekretariat Presiden)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Perekonomian Indonesia menunjukkan sinyal yang mengkhawatirkan di era Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto

Data terbaru mengindikasikan bahwa masyarakat masih menahan diri untuk berbelanja, sementara sektor manufaktur tertekan hebat.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah stimulus pemerintah cukup kuat untuk mendongkrak kembali roda ekonomi?

Dalam riset terbaru Core Indonesia bertajuk "Setengah Daya Pacu Ekonomi" yang diterima Suara.com pada Selasa (17/6/2025) terlihat cerminan nyata dari keengganan masyarakat untuk membelanjakan uang. Dimana indeks Penjualan Riil pada Mei 2025 diprediksi turun 0,6% secara bulanan, menandakan penjualan ritel yang lebih rendah dibanding bulan sebelumnya. 

Perlambatan konsumsi juga terlihat pada kuartal pertama 2025, di mana pertumbuhan konsumsi rumah tangga dalam PDB melambat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. 

"Ini menunjukkan bahwa aktivitas konsumsi masih belum pulih sepenuhnya," ungkap laporan itu.

Begitu juga dengan sektor manufaktur, yang menyumbang 21% terhadap ekonomi Indonesia, berada dalam tekanan berat. Menjelang pertengahan triwulan kedua 2025, output dan permintaan baru turun tajam. Penurunan permintaan pada Mei tercatat sebagai yang terdalam sejak Agustus 2021.

Hal ini tercermin dari Indeks PMI (Purchasing Managers' Index) masih bercokol di zona kontraksi, mencerminkan pesimisme para pelaku usaha. Lesunya permintaan membuat perusahaan menahan pembelian dan mengurangi stok. 

"Laporan PMI S&P Global bahkan menyebutkan bahwa banyak perusahaan terpaksa menawarkan diskon besar-besaran, meskipun biaya produksi melonjak. Ini artinya, margin keuntungan industri manufaktur semakin tertekan," tulis Core Indonesia

Baca Juga: Bos Danantara Ungkap Ideal Return Investasi di RI: Minimal 10%

Yang lebih mengkhawatirkan, kepercayaan masyarakat terhadap kondisi ekonomi enam bulan ke depan mulai goyah. Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) pada April 2025 turun menjadi 129,8 dari 131,7. Meskipun masih di zona optimis, penurunan ini adalah sinyal jelas bahwa masyarakat mulai pesimis.

Tak hanya itu, harapan terhadap ketersediaan lapangan kerja dan kegiatan usaha ke depan juga ikut menurun. Indeks Ekspektasi Ketersediaan Lapangan Kerja (IEKLK) melemah, begitu pula Indeks Ekspektasi Kegiatan Usaha (IEKU).

Meski pemerintah telah menggelontorkan berbagai stimulus fiskal untuk menggairahkan kondisi ekonomi yang ada, namun realita menurut Core Indonesia hal itu tidak akan tercermin.

Sebagai contoh, program BSU yang menargetkan 17,3 juta pekerja bergaji di bawah Rp3,5 juta per bulan, hanya menjangkau sekitar 18% dari total pekerja yang seharusnya menjadi target bantuan (berdasarkan data BPS, ada sekitar 95 juta pekerja dengan gaji di bawah Rp3,5 juta).

Melihat kondisi yang lesu, tak heran jika lembaga internasional seperti Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 hanya 4,7%. Prediksi ini sejalan dengan perkiraan CORE Indonesia yang menempatkan proyeksi pertumbuhan di kisaran 4,6%–4,8%.

"Stimulus jangka pendek memang diperlukan untuk menggairahkan aktivitas ekonomi. Namun, keberhasilan upaya tersebut sangat ditentukan oleh desain kebijakan itu sendiri, apakah cukup tepat sasaran dan mampu mendorong pemulihan di sisa tahun ini," kata laporan itu lagi.

Selain jumlah penerima yang masih terbatas, skema penyaluran Bantuan Subsidi Upah (BSU) juga belum menyasar pekerja di sektor informal. Salah satu syarat utama untuk menerima bantuan ini adalah penerima harus terdaftar sebagai peserta aktif di BPJS Ketenagakerjaan. 

"Persyaratan ini secara otomatis mengecualikan jutaan pekerja informal, seperti pedagang kaki lima, pengemudi ojek daring, buruh harian, tukang bangunan, dan pekerja lepas lainnya," tulis Core Indonesia.

Padahal, kelompok pekerja informal ini juga terdampak tekanan ekonomi, terutama dalam situasi harga kebutuhan pokok yang terus naik dan daya beli yang melemah. Mereka bekerja tanpa kepastian pendapatan tetap, tanpa jaminan sosial, dan sangat rentan terhadap guncangan ekonomi.

Memang Penebalan bantuan sosial (bansos) diperlukan untuk menjaga daya beli kelompok berpendapatan rendah. Pemerintah mengalokasikan tambahan anggaran Rp 11,93 triliun dari APBN untuk program ini. Tambahan bansos ini akan disalurkan melalui Kartu Sembako sebesar Rp 200 ribu per bulan selama Juni–Juli 2025 kepada 18,3 juta penerima.

Selain itu, setiap Keluarga Penerima Manfaat (KPM) juga akan mendapat 10 kg beras per bulan, atau total 20 kg selama dua bulan. Langkah ini diharapkan bisa membantu menahan tekanan ekonomi dan menjaga konsumsi rumah tangga. Hanya saja, jika target stimulus juga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, bantuan untuk kelompok kelas menengah juga tidak boleh terlewatkan.

Kelas menengah dan calon kelas menengah menyumbang lebih dari 50% konsumsi nasional. Namun sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, jumlah kelompok ini mengalami penurunan. Bantuan sosial yang secara khusus ditujukan kepada mereka pun masih terbatas. 

Dari lima stimulus yang diberikan pemerintah, bantuan yang secara spesifik menyasar kelompok kelas menengah masih minim.

Memang, ada bantuan berupa diskon transportasi dan tarif tol yang ditujukan bagi mereka. Namun, perlu dicatat, stimulus serupa juga pernah diberikan saat mudik lebaran, yang notabene memiliki masa libur lebih panjang, Kelas menengah dan calon kelas menengah menyumbang lebih dari 50% konsumsi nasional.

"Namun sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, jumlah kelompok ini mengalami penurunan," tulis Core Indonesia. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI