Suara.com - Ketidakpastian ekonomi, membuat beberapa perusahaan mengalami tekanan, seperti yang juga terjadi pada Jepang dimana banyak perusahaan mengalami krisis keuangan bahkan menyatakan bangkrut.
Dilansir Japan Today, Senin (11/8/2025), kebangkrutan perusahaan di Jepang mencapai 961 kasus pada bulan Juli, angka bulanan tertinggi tahun ini. Hal ini berdasarkan perusahaan riset kredit Tokyo Shoko Research yang memaparkan data sejumlah perusahaan yang terdampak.
Salah satu alasan beberapa perusahaan bangkrut yakni adanya kenaikan harga serta ketidakpastian ekonomi akibat perang tarif dari Amerika Serikat. Serta memiliki kenaikan utang yang cukup tinggi.
Beberapa mempunyai utang minimal 10 juta yen, sedangkan sisa kasus bangkrut disebabkan oleh inflasi. Apalagi, inflasi masih akan terus meningkat untuk masa mendatang yang bakal membuat perusahaan bangkrut terus bertambah.
Sementara, ada 41 kasus kebangkrutan terkait dengan kekurangan tenaga kerja seperti kenaikan biaya personel. "Harga pangan dan energi yang lebih tinggi tidak hanya akan memengaruhi perilaku konsumen tetapi juga laba perusahaan," kata seorang pejabat Tokyo.
Berdasarkan industri, kebangkrutan di sektor ritel meningkat 2,8 persen dari tahun sebelumnya menjadi 112 kasus, sementara kebangkrutan di sektor jasa termasuk restoran naik lebih dari 10 persen menjadi 344 kasus. Total keuntungan turun 78,6 persen dari tahun sebelumnya menjadi 167 miliar yen.
Dengan bertambahnya perusahaan yang bangkrut membuat pemerintah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonominya. Pemerintah Jepang memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 hampir separuh dari 1,2 persen menjadi 0,7 persen pada akhir tahun fiskal nanti.
Sinyal suramnya pertumbuhan seiring dengan tekanan tarif Amerika Serikat (AS) yang memperlambat belanja modal serta inflasi. Keadaan yang menekan konsumsi rumah tangga serta mengancam pemulihan ekonomi menjadi tantangan bagi ekonomi Jepang mendatang.
Baca Juga: CEK FAKTA: Foto Viral Tsunami Jepang Usai Gempa Rusia