Suara.com - Baru-baru ini, pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyoroti besarnya tantiem atau bonus tahunan bagi komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali membuka diskusi publik.
Presiden Prabowo menilai bahwa nilai bonus yang diterima para petinggi BUMN ini sering kali tidak sebanding dengan kontribusi yang mereka berikan.
Pernyataan tersebut memicu perdebatan sengit tentang transparansi, keadilan, dan efektivitas sistem penggajian di perusahaan-perusahaan pelat merah.
Namun, seberapa besar sebenarnya tantiem yang diterima oleh para petinggi BUMN dan apa landasan hukum yang mendasarinya?
Mengenal Apa Itu Tantiem
Secara sederhana, tantiem adalah bonus yang diberikan kepada direksi dan dewan komisaris sebagai bentuk apresiasi atas kinerja perusahaan yang menghasilkan keuntungan.
Istilah ini berasal dari bahasa Prancis dan memiliki arti "bagian keuntungan." Meskipun sering disamakan dengan bonus kinerja pada umumnya, tantiem memiliki karakteristik khusus.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tantiem adalah bagian keuntungan perusahaan yang dihadiahkan kepada karyawan. Namun, dalam konteks BUMN, pengertian ini lebih spesifik.
Berdasarkan Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-02/MBU/2009, tantiem adalah penghargaan tahunan yang diberikan kepada anggota direksi, dewan komisaris, atau dewan pengawas BUMN saat perusahaan meraih laba.
Baca Juga: Di Depan Presiden Prabowo, Iko Uwais Unjuk Bakat Pencak Silat
Peraturan ini juga memungkinkan tantiem untuk tetap diberikan meskipun perusahaan merugi, asalkan ada peningkatan kinerja yang signifikan.
Hal ini berbeda dengan praktik di banyak negara yang menganut prinsip pay for performance, di mana bonus diberikan hanya jika perusahaan benar-benar mencetak laba.
Di negara-negara tersebut, pemberian bonus diatur ketat melalui regulasi yang transparan, sehingga besaran insentif langsung terkait dengan pencapaian kinerja keuangan dan non-keuangan.
Hal ini bertujuan untuk menghindari pemberian bonus yang tidak wajar dan memastikan insentif sejalan dengan kepentingan pemegang saham dan publik.
Landasan Hukum dan Besaran Tantiem Petinggi BUMN
Dasar hukum yang mengatur penghasilan petinggi BUMN, termasuk tantiem, adalah Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-02/MBU/2009 tentang Pedoman Penetapan Penghasilan Direksi, Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN.
Dalam regulasi ini, disebutkan bahwa tantiem bersifat variabel dan diberikan dengan mempertimbangkan beberapa faktor, seperti pencapaian target, kondisi kesehatan perusahaan, kemampuan finansial, dan sistem penilaian kinerja yang adil (merit system).
Penentuan nominal tantiem ini biasanya ditetapkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) pada awal tahun buku.
Namun, jumlah finalnya baru disahkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Uniknya, nominal yang disepakati dalam RUPS bisa saja lebih besar dari yang direncanakan di RKAP, terutama jika laba yang dicapai perusahaan melebihi target.
Berikut adalah persentase pembagian tantiem yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri BUMN tersebut:
- Direktur utama menerima tantiem 100%
- Direksi lainnya menerima tantiem 90%
- Komisaris utama menerima tantiem 40%
- Komisaris lainnya menerima tantiem 36%
Persentase ini mengacu pada penghasilan tetap atau gaji pokok. Artinya, semakin tinggi gaji pokok, semakin besar pula nilai tantiem yang diterima.
Tantiem di BUMN Perbankan
Berapa angka pasti tantiem yang diterima para petinggi BUMN? Jumlahnya bisa sangat fantastis, terutama di perusahaan-perusahaan besar seperti BUMN perbankan atau Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).
Sebagai contoh, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) mencatatkan kenaikan bonus tertinggi, yakni melonjak 82,96% menjadi Rp 576,34 miliar.
Direksi BNI menerima bonus Rp 403,96 miliar, dengan rata-rata Rp 33,66 miliar per orang, sementara komisaris menerima Rp 172,38 miliar, atau rata-rata Rp 15,67 miliar per orang.
Kontroversi di Balik Angka
Meskipun angkanya mencengangkan, pemberian tantiem ini sering kali menjadi polemik. Kritik utama, seperti yang disampaikan Presiden Prabowo, adalah ketika bonus diberikan tanpa adanya kontribusi yang sepadan. Misalnya, seorang komisaris yang hanya menghadiri rapat sebulan sekali bisa menerima tantiem puluhan miliar Rupiah.
Masalah ini bukan hanya soal nominal, tetapi juga tentang keadilan dan transparansi. Tantiem yang terlalu besar dan tidak berbanding lurus dengan kinerja dapat menciptakan ketidakpuasan di kalangan karyawan lain, menurunkan motivasi, dan pada akhirnya merugikan perusahaan.
Di sisi lain, pemberian bonus yang wajar dan transparan dapat meningkatkan semangat kerja dan mempertahankan talenta terbaik.
Kontributor : Rizqi Amalia