Suara.com - Angka-angka seputar gaji dan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selalu menarik perhatian publik dan sering kali menjadi topik perdebatan hangat.
Bagaimana perjalanan gaji wakil rakyat kita ini dari masa ke masa? Mari kita telusuri jejaknya, mulai dari era yang masih sederhana hingga saat ini, di mana total penghasilan mereka mencapai puluhan, bahkan ratusan juta rupiah.
Era DPR-GR (1961): Gaji Terikat Kehadiran
Perjalanan gaji DPR dimulai dengan sistem yang sangat berbeda dari sekarang. Pada era DPR-GR (DPR Gotong Royong) di tahun 1961, status anggota dewan belum sepenuhnya profesional.
Mereka tidak menerima gaji tetap, melainkan lebih mirip tunjangan yang terkait langsung dengan kehadiran.
Aturan ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 209 Tahun 1961. Tujuannya adalah untuk mendisiplinkan para anggota dewan.
Di bawah aturan ini, jika seorang anggota dewan tidak hadir dalam 50% dari total rapat, maka hak gaji dan tunjangannya bisa dipotong atau bahkan dihapuskan sama sekali.
Ini menunjukkan bahwa pada masa itu, nilai dan penghargaan finansial terhadap anggota dewan masih sangat terikat pada performa dan kehadiran mereka secara fisik.
Pasca-Reformasi (1998)
Baca Juga: Kekayaan Rusdi Masse, Pengganti Ahmad Sahroni Jadi Wakil Ketua Komisi III DPR RI
Ketika Indonesia memasuki era Reformasi pada 1998, terjadi banyak perubahan fundamental, termasuk dalam sistem pemerintahan.
Salah satu dampaknya adalah munculnya kesadaran untuk meningkatkan profesionalisme lembaga legislatif, termasuk dalam hal anggaran dan pendanaan. Di masa ini, DPR mulai memiliki otonomi yang lebih besar untuk menentukan anggarannya sendiri.
Namun, sistem gaji yang mengikat gaji dengan kehadiran anggota dewan perlahan ditinggalkan.
Aturan-aturan baru, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), tidak lagi mencantumkan kehadiran sebagai syarat utama untuk menerima gaji.
Ini menjadi titik balik penting yang memisahkan antara sistem gaji yang lama dengan yang berlaku sekarang.
Aturan Gaji DPR Saat Ini: Gaji Pokok Vs Total Penghasilan
Saat ini, dasar hukum yang mengatur gaji pokok anggota DPR adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2000. Meskipun sudah lebih dari dua dekade berlaku, aturan ini tetap menjadi landasan utama. Berdasarkan PP ini, gaji pokok yang diterima anggota DPR bervariasi tergantung jabatannya:
Ketua DPR: Rp 5.040.000 per bulan
Wakil Ketua DPR: Rp 4.620.000 per bulan
Anggota DPR Biasa: Rp 4.200.000 per bulan
Melihat angka-angka ini, banyak orang mungkin terkejut karena angkanya terlihat relatif kecil, bahkan lebih kecil dari upah minimum di beberapa kota besar.
Inilah yang sering kali menjadi sumber kesalahpahaman. Sebenarnya, gaji pokok hanyalah bagian kecil dari total kompensasi yang diterima anggota DPR.
Total penghasilan mereka melonjak tajam berkat berbagai tunjangan dan fasilitas yang diatur dalam dokumen lain, seperti Surat Edaran Sekretaris Jenderal DPR dan Surat Menteri Keuangan. Tunjangan-tunjangan ini mencakup:
- Tunjangan kehormatan: Penghargaan atas jabatan yang diemban.
- Tunjangan komunikasi: Biaya untuk menunjang komunikasi dalam menjalankan tugas.
- Tunjangan perumahan: Dana untuk tempat tinggal, mengingat mereka harus bekerja di Jakarta.
- Tunjangan lainnya: Berbagai tunjangan lain seperti tunjangan jabatan, tunjangan istri/anak, uang sidang, hingga fasilitas kendaraan.
Gabungan dari gaji pokok, tunjangan, dan fasilitas inilah yang membuat total penghasilan bulanan anggota DPR bisa mencapai puluhan, bahkan ratusan juta rupiah. Angka ini bisa berkisar dari Rp 100 juta hingga lebih dari Rp 230 juta per bulan, tergantung pada jabatannya.
Perbedaan antara gaji pokok yang kecil dengan total penghasilan yang besar inilah yang sering menimbulkan kebingungan dan perdebatan di masyarakat.
Publik sering kali hanya melihat angka gaji pokok yang tertera di peraturan pemerintah, tanpa mengetahui bahwa ada begitu banyak komponen lain yang membentuk penghasilan mereka.
Sejarah gaji DPR di Indonesia menunjukkan evolusi yang signifikan. Dari sistem yang masih sederhana dan terikat pada kehadiran di era Orde Lama, kini beralih ke sistem yang lebih kompleks di era Reformasi, di mana gaji pokok hanyalah sebagian kecil dari total kompensasi.
Perkembangan ini mencerminkan upaya untuk profesionalisasi lembaga legislatif, namun pada saat yang sama, transparansi mengenai total penghasilan dan fasilitas yang diterima anggota dewan masih menjadi isu yang terus diperdebatkan.
Kontributor : Rizqi Amalia