- KPPU selidiki dugaan kartel bunga pinjol dan panggil 97 perusahaan serta OJK
- Amartha membantah tuduhan kartel dan klaim bunga ditentukan secara independen
- Pedoman AFPI dinilai bukan kesepakatan harga, tapi arahan untuk lindungi konsumen
Suara.com - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bakal kembali memanggil 97 perusahaan penyedia layanan pinjaman online (pinjol) pekan depan.
Hal ini terkait laporan dugaan pelanggaran (LDP) terhadap pinjaman online (pinjol)
Bahkan, KPPU juga berencana memanggil Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam sidang kesepakatan penetapan harga bunga pinjaman antar anggota Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
Investigator KPPU Arnold Sihombing mengatakan, lembaga pengawas persaingan usaha ini akan menghadirkan OJK, baik dalam kapasitas sebagai saksi maupun ahli.
"Tapi apa sebagai ahli atau sebagai pihak saksi biar nanti yang mengumumkan Majelis [Komisi] sendiri. Tapi yang jelas OJK dan ahli sudah pasti dihadirkan. Sebagai proses kehati-hatian juga kan, untuk mengumpulkan bukti," jelas Arnold dalam siaran pers, Jumat (12/9/2025).
Dalam sidang ini, sebanyak 97 perusahaan P2P lending telah menyerahkan berkas kepada pihak KPPU, yang kurang lebihnya berisikan hak jawab atas dugaan yang dilayangkan KPPU.
Hal ini, terkait pelanggaran kesepakatan pinjaman online (pinjol) dengan batas bunga tertinggi sebesar 0,8 persen dan 0,4 persen di sejumlah perusahaan P2P lending.
Namun, PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) melalui kuasa hukumnya, membantah semua tuduhan investigator Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait kartel dalam penetapan bunga pinjaman pada periode 2020-2023.
Bantahan tersebut disampaikan dalam sidang Perkara Dugaan Pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5/1999 (Undang-Undang Antimonopoli) terkait layanan P2P Lending (Perkara Nomor 05/KPPU-I/2025) di KPPU.
Baca Juga: Usai Diperiksa KPK, Deputi Gubernur BI Jelaskan Aturan Dana CSR
Kuasa Hukum Amartha, Harry Rizki Perdana mengatakan, Amartha sejak berdiri 15 tahun lalu adalah penyedia layanan keuangan yang fokus pada pemberdayaan perempuan di perdesaaan seperti halnya Grameen Bank di Bangladesh.
Apalagi, perusahaan Amartha tergabung ke dalam AFPI lantaran diwajibkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK
"Fokus Amartha adalah pada pembiayaan produktif melalui modal kerja untuk usaha ultra mikro dan UMKM, khususnya perempuan di perdesaan. Hal ini juga tadi mencuat dalam persidangan, karena seharusnya dibedakan antara pembiayaan produktif dengan konsumtif,” ujarnya.
Dalam perkara ini, investigator KPPU mendalilkan dugaan pelanggaran berdasarkan Pedoman Perilaku (Code of Conduct) Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), yang salah satunya mengatur mengenai batas atas bunga P2P lending sebesar 0,8 persen per hari dan kemudian menjadi 0,4 persen per hari di 2021.
Hal ini dimaknai investigator sebagai bentuk perjanjian bersama dalam mengatur harga (price fixing).
Menurut Harry, Pedoman Perilaku AFPI tidak bisa dijadikan sebagai bukti perjanjian karena tidak ada bentuk kesepakatan secara sukarela untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya, tetapi merupakan bentuk kepatuhan terhadap Peraturan OJK Nomor 77/2016.