Namun Zidane memilih bungkam dan fokus ke sepak bolanya. Kehidupannya pun berubah kala ia berpindah klub dari US Saint-Henri ke SO Septemes-Les-Vallons di mana ia menimba ilmu sejak 1983 hingga 1996.
Dari klub tersebut, Zidane pun berhasil menarik perhatian Cannes yang kemudian merekrutnya dan membinanya hingga 1989 sebelum promosi ke tim utama.
Perlakuan rasis yang selama ini ia tak dengarkan pun mulai ia tanggapi kala telah berstatus pemain profesional di mana ia mulai melawan siapapun yang melecehkannya.
Karena hal tersebut, ia kerap mendapat hukuman seperti membersihkan ruang ganti sebagai hukuman karena memukul pemain yang melecehkannya.
Kengototan Zidane melawan siapapun yang melecehkannya pun pernah tercipta pada final Piala Dunia 2006, atau laga terakhirnya sebagai pemain.
Saat itu, Zidane menyerang Marco Materazzi di babak Extra Time dengan menanduk dadanya. Ia mengaku menyerang bek Italia itu karena menghina ibu dan saudara perempuannya.
Karena tindakan itu, Zidane harus menerima kartu merah di laga terakhir karier sepak bolanya yang berujung kegagalan Prancis menjuarai Piala Dunia keduanya.
Kengototan Zidane melawan pelecehan yang terima karena ia sendiri bangga akan darah Arab yang mengalir di tubuhnya. Memang secara De Jure ia merupakan warga Prancis. Tapi faktanya, ia adalah orang Aljazair.
“Saya memiliki kedekatan dengan dunia Arab. Saya memilikinya dalam darah saya, melalui orang tua saya. Saya sangat bangga menjadi orang Prancis, tetapi juga sangat bangga memiliki akar dan keragaman ini,” ujar Zidane kepada majalah Esquire.
Baca Juga: Cristiano Ronaldo Dikabarkan Ingin Zinedine Zidane Jadi Pelatih MU
Penulis: Zulfikar