Bukan hanya tentang permainan di lapangan, tapi juga tentang bagaimana seluruh elemen sepak bola, termasuk suporter dan netizen, harus menjaga ruang digital tetap sehat dan bebas dari ujaran kebencian.
Fenomena komentar rasis bukanlah hal baru di jagat maya, terutama dalam konteks olahraga.
Banyak pemain sepak bola, baik di dalam maupun luar negeri, menjadi sasaran serangan yang tidak manusiawi hanya karena hasil pertandingan atau perbedaan ras dan asal daerah.
Namun, langkah Yakob dan Yance ini menjadi sinyal kuat bahwa toleransi terhadap perilaku tersebut sudah habis.
Secara hukum, ujaran kebencian di media sosial masuk dalam ranah pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Pasal 28 ayat (2) UU ITE menyebutkan larangan menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA, dengan ancaman pidana yang cukup berat.
Kasus ini sekaligus menjadi pengingat bagi pengguna media sosial agar lebih bijak dan bertanggung jawab dalam mengekspresikan pendapat.
Kritik terhadap performa pemain sepak bola adalah hal wajar dalam dunia olahraga, tetapi menyampaikannya dengan cara yang menyerang identitas seseorang adalah tindakan yang salah kaprah dan melanggar hukum.
Keberanian Yakob dan Yance Sayuri ini patut diapresiasi sebagai upaya menjaga martabat atlet serta menciptakan iklim kompetisi yang lebih sehat dan beradab.
Baca Juga: Yakob Sayuri Kirim Pesan ke Patrick Kluivert: Saya Mau Comeback ke Timnas Indonesia
Dunia maya seharusnya menjadi ruang diskusi dan apresiasi, bukan ladang ujaran kebencian yang merusak moral publik.