Suara.com - Pindahnya Rafael Struick ke Dewa United bisa memberikan beberapa dampak negatif kepada pemain berusia 22 tahun tersebut.
Rafael Struick resmi memperkuat Dewa United menjelang musim 2025/2026, setelah kontraknya bersama Brisbane Roar tidak diperpanjang.
Kontrak tiga tahun ditandatangani pada pertengahan Juli 2025, sebagai bagian dari proyek strategis jangka panjang klub yang dipimpin pelatih Jan Olde Riekerink.
Pendekatan personal dari pelatih asal Belanda ini diyakini menjadi faktor kunci yang meyakinkan Struick bahwa proyek Dewa cocok dengan ambisinya
Meski ia dianggap sebagai talenta besar U-23 yang telah mencatatkan debut profesional di Belanda dan Liga Australia, kepindahan ke Dewa United dipandang oleh sebagian pihak sebagai langkah mundur.

Ada kekhawatiran bahwa level kompetisi Liga 1 tak ideal untuk menjaga momentum dan perkembangan Struick sebagai pemain muda global.
Berikut tiga dampak negatif utama yang bisa muncul dari keputusan Struick pindah ke Dewa United:
1. Penurunan Tingkat Kompetisi dan Perkembangan Karier
Pertama, Struick dari klub Eropa dan A-League seharusnya berada di lingkungan dengan tekanan dan intensitas tinggi.
Di Brisbane Roar, meskipun menit bermain terbatas, ia tetap berada dalam kompetisi yang lebih ketat daripada Liga 1.
Baca Juga: 2 Pemain Keturunan Resmi Sepakat Gabung Timnas Indonesia
Di Dewa United, kemungkinan besar ia menghadapi pertandingan dengan ritme lebih lambat, fisik lebih ringan, dan kualitas lawan yang belum tentu menantang.
Jika tidak diimbangi dengan rutinitas latihan keras dan kompetisi kualitas tinggi, kemampuan teknis dan adaptasi Struick bisa stagnan dan menurun.
Ini sangat krusial untuk pemain sekelas Struick yang masih berpotensi dipanggil ke Timnas dan mungkin kembali dicari klub Eropa di masa depan.
Tanpa tantangan liga kuat, pembelajaran lapangan dan perkembangan kariernya bisa terbendung.
2. Ekspektasi Tinggi Tapi Risiko Penurunan Moral
Sebagai pemain keturunan dengan karier luar negeri, Struick datang ke Indonesia dengan harapan besar.
Namun keputusan memilih klub non-lokal papan atas menimbulkan pertanyaan: apakah ia bisa memenuhi ekspektasi publik dan performa konsisten?