Suara.com - Dokter kecantikan Richard Lee baru-baru ini ikut membahas kegaduhan yang terjadi imbas perang Israel, Amerika Serikat dan Iran.
Biasa mengundang narasumber untuk berbagi cerita hidup, Richard Lee mengundang Faisal Assegaf, seorang pengamat dan jurnalis kawakan Timur Tengah untuk berbagi informasi di podcast-nya.
Dari perbincangan yang diunggah di kanal YouTube pribadi Richard Lee, terungkap sebuah kisah yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Faisal Assegaf, yang didatangkan untuk membahas konflik di Timur Tengah, ternyata pernah menjadi tawanan kelompok militan Hizbullah di Lebanon.
Cerita bermula saat Richard Lee ingin mengonfirmasi profesi tamunya untuk memberikan konteks kepada penonton.
"Mas Faisal Assegaf ini apa, wartawan?" tanya Richard Lee membuka percakapan.
"Saya wartawan khusus Timur Tengah. Saya pernah di Gaza 2012, waktu revolusi di Libya juga, sampai pas Gaddafi meninggal. Ke Lebanon juga udah tiga kali, Iran tiga kali. Terakhir, saya ke Suriah dua Minggu," jawab Faisal, memaparkan segudang pengalamannya meliput di zona merah.
Namun, kalimat berikutnya dari Faisal membuat Richard Lee terdiam sejenak, tak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Nah, saya waktu di Lebanon ditangkap Hizbullah, di Suriah ditangkap Pasukan Kurdi," ungkap Faisal dengan tenang.
Baca Juga: Ayatollah Ali Khamenei Diancam Bakal Dibunuh Israel, Dubes Iran: Dia Bukan Pihak yang Memulai Perang
"Hah, serius?" sahut Richard Lee dengan ekspresi kaget yang tak bisa disembunyikan.
"Iya, saya ditawan 5 hari. Kalau sama Hizbullah, saya ditawan 29 jam," jelas Faisal, mengonfirmasi pengalaman pahitnya.
Rasa penasaran Richard Lee membawanya menanyakan alasan di balik penangkapan Faisal Assegaf.
"Kenapa ditawan?" tanya bos produk kecantikan Athena itu.
Faisal kemudian menceritakan kronologi kejadian yang terjadi pada September tahun lalu, yang bermula pada rencana peliputan ke wilayah konflik di Lebanon.
"Saya kan sebenernya deket sama pimpinan Hizbullah. Jadi, sebelum liputan perang di Lebanon, saya sudah kontakan sama mantan juru bicara Hizbullah, namanya Ibrahim Al-Musawi. Dia juga orang parlemen. Sama ada juga, kepala kantor medianya Hizbullah," tuturnya.
"Saya udah bilang mau ke sana. Jadi, saya kirim paspor, bukti ID. Saya sampai sana itu 23 September tahun lalu," lanjut Faisal.
Saat hendak membeli oleh-oleh di Dahiya, sebuah distrik di selatan Beirut yang merupakan basis kuat Hizbullah, Faisal mencoba merekam suasana jalanan dengan ponselnya setelah bertanya pada staf lokal KBRI yang mendampinginya.
Di momen itu lah, Faisal diberhentikan oleh salah satu anggota Hizbullah hingga akhirnya ditangkap.
![Faisal Assegaf [YouTube/ dr. Richard Lee, MARS]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/06/29/76610-faisal-assegaf-youtube-dr-richard-lee-mars.jpg)
"Sebenernya nggak ada masalah. Cuma ketika saya mau beli oleh-oleh, di Dahiya. Ketika saya nyebrang jalan, saya nanya sama staf lokal dari KBRI yang nemenin saya. 'Ini saya boleh rekam kan?'. Saya baru rekam jalanan, nggak ke kanan kiri, di detik ke-16 saya diberhentiin sama anggota Hizbullah. Akhirnya mobil dipinggirin, langsung dikerubungin, ditangkap," papar Faisal.
Setelah ditangkap, Faisal Assegaf langsung menghadapi interogasi penuh tekanan, dengan tuduhan sebagai mata-mata Israel.
"Ya saya diintimidasi. Dibilang zionis, spy segala macem. Tiga jam saya diinterogasi, termasuk yang sejam itu di kantor intelijen," kenangnya.
Richard Lee lantas bertanya mengenai bentuk intimidasi yang diterimanya.
"Diintimidasi itu dipukulin nggak?" tanya Richard Lee.
"Nggak, cuma salah satu anggota Hizbullah naruh kepalannya di sini (tulang rahang). 'You will die', kata dia," jawab Faisal sambil menunjuk bagian rahangnya.
Proses interogasi tak berhenti di tangan Hizbullah. Intelijen militer Lebanon kemudian datang dan mengambil alih.
"Setelah sejam, tiba-tiba dateng intelijen militer Lebanon. Diinterogasi lagi, sejam. Ngisi biodata, ngapain ke sini, nama istri, nama saudara kandung, banyak lah yang ditanya," jelas Faisal.
Puncak dari penahanan itu adalah saat ia dijebloskan ke sel khusus teroris.
"Akhirnya, saya ditaruh di penjara khusus teroris di bawah tanah, di Kementerian Pertahanan Lebanon," kata Faisal.
Untungnya, penangkapan buah dari miskomunikasi antara elite Hizbullah yang Faisal kenal dengan para personel di lapangan tidak berbuntut panjang. Ia cuma ditahan 29 jam, sebelum akhirnya dibebaskan.
"Yang nangkep saya orang lapangan. Saya kan hubungannya sama yang pejabat-pejabatnya. Jadi nggak nyambung," ujar Faisal.
Faisal pun bisa memaklumi kecurigaan mereka terhadap orang asing yang datang ke Dahiya.
Saat itu, suasana di Dahiya memang sangat sensitif dan mencekam, terutama karena kawasan itu menjadi target serangan Israel.
"Ya situasinya memang mencekam, karena Dahiya itu setiap hari dibom sama Israel," jelas Faisal.
Dari kejadian itu juga, Faisal baru mengetahui sebuah aturan tak tertulis yang sangat krusial di wilayah Dahiya.
"Saya juga baru tahu, bahwa sejak Hizbullah perang dengan Israel dari 2006, di kawasan Dahiya itu tidak boleh memotret atau merekam," pungkasnya.
Hizbullah sendiri, yang secara harfiah berarti 'Partai Tuhan', adalah kelompok politik dan militan Syiah yang berbasis di Lebanon.
Didukung oleh Iran, Hizbullah memiliki pengaruh besar dalam politik Lebanon dan dianggap sebagai salah satu kekuatan militer non-negara terkuat di dunia.
Banyak negara Barat, termasuk Amerika Serikat, yang menetapkan Hizbullah sebagai organisasi teroris.