Suara.com - Pengakuan aktris Erika Carlina di podcast Deddy Corbuzier bahwa ia tengah hamil sembilan bulan di luar nikah sontak mengguncang publik.
Namun, di balik pengakuan yang penuh air mata itu, terungkap sebuah cerita yang jauh lebih kelam dan brutal, serangkaian ancaman sistematis dari pria yang menghamilinya, yang dirancang untuk membungkam dan menghancurkan hidupnya jika ia berani buka suara.
Ini bukan lagi sekadar drama percintaan selebritas. Apa yang diungkap Erika adalah contoh nyata bagaimana ancaman digunakan sebagai senjata dalam relasi kuasa yang timpang, sebuah taktik untuk memastikan korban tetap diam dalam penderitaannya.
Dalam penuturannya, Erika membeberkan setidaknya dua ancaman serius yang ia terima, yang menjadi alasan utama mengapa ia akhirnya memilih untuk berbicara secara terbuka.
Ancaman Pertama: Kerahkan Massa, Bangun Narasi 'Playing Victim'
Ancaman pertama menunjukkan betapa terencananya upaya pembungkaman ini. Menurut Erika, pria tersebut memiliki sebuah grup chat yang berisikan para penggemarnya.
Grup ini disiapkan untuk menjadi "pasukan digital" yang akan dikerahkan untuk menyerangnya secara serentak jika identitasnya terbongkar.
"Erika Carlina mengatakan pria tersebut memiliki sebuah grup chat beranggotakan para penggemarnya, yang digunakan untuk mengerahkan para penggemarnya menyerang sang aktris yang sedang hamil," demikian laporan yang beredar.
Tujuannya jelas, membangun narasi tandingan di ruang publik. Dengan serangan masif, sang pria berusaha memposisikan Erika sebagai pihak yang tidak bisa dipercaya dan hanya mencari sensasi (playing victim).
Ini adalah taktik klasik untuk mendelegitimasi suara korban, membuatnya ragu dan takut akan serangan balik dari opini publik.
Baca Juga: Ikut Prihatin, Admin Gerindra: Gak Ada yang Boleh Ancam Erika Carlina
Ancaman Kedua: Hancurkan Karier di Titik Paling Rentan
Jika ancaman pertama menargetkan reputasi, ancaman kedua menyasar langsung ke sumber penghidupan dan masa depan Erika. Pria tersebut secara eksplisit mengancam akan menghancurkan karier yang telah dibangun Erika dengan susah payah.
Momen yang dipilih untuk melancarkan serangan ini pun sangat keji: tepat saat Erika melahirkan.
"Ancamannya banyak, jadi Agustus nanti Erika bakal lahiran gak tahu bapaknya siapa, aku akan bombardir dia, dia akan ngehancurin karier aku," ungkap Erika menirukan ancaman yang diterimanya.
Ancaman ini menciptakan teror psikologis yang mendalam. Erika tidak hanya dipaksa menanggung beban kehamilan seorang diri, tetapi juga dibayangi ketakutan akan kehilangan segalanya pada saat ia berada dalam kondisi paling rentah, baik secara fisik maupun emosional.
Ini adalah bentuk kekerasan verbal dan psikologis yang dirancang untuk melumpuhkan korban secara total.