Apa Itu Galaktosemia, Penyakit Langka yang Baru Ditemukan di Indonesia?

Vania Rossa Suara.Com
Selasa, 13 Oktober 2020 | 17:01 WIB
Apa Itu Galaktosemia, Penyakit Langka yang Baru Ditemukan di Indonesia?
Ilustrasi penyakit langka. [shutterstock]

Suara.com - Kasus Galaktosemia Tipe 1 merupakan salah satu penyakit langka yang baru-baru ini ditemukan di Indonesia, diderita oleh bayi bernama Gloria, yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Gloria yang lahir pada November 2019 mendapatkan rujukan ke RSCM saat usia tujuh hari. Saat itu tubuhnya berwarna kuning dengan kadar zat besi dalam tubuhnya tinggi, disertai hati yang membesar.

"Datang ke saya di usia tujuh hari, dirujuk dari rumah sakit ibu dan anak di Jakarta. Anaknya kuning, tidak bisa dengan penyinaran, tetapi anaknya waktu diperiksa lab ternyata kadar zat besinya tinggi sampai 2000, di atas 800 itu berbahaya untuk anak, bisa merusak jantung hati, harus dikeluarkan," kata Kepala Pusat Penyakit Langka RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Prof. Damayanti Rusli Sjarif, dalam webinar bersama Yayasan MPS dan Penyakit Langka, Minggu (11/10/2020).

Diagnosis Galaktosemia pun sebenarnya didapatkan dari otoritas kesehatan di Jerman, karena tidak ada laboratorium diagnostik khusus penyakit langka di Indonesia. Biaya yang harus dikeluarkan pada kala itu ditengarai berkisar Rp13 juta.

Dikutip dari Antara, Damayanti menjelaskan, anak yang terkena penyakit ini tidak memiliki enzim Galt yang berfungsi memecah zat gula seperti karbohidrat, gula dan laktosa untuk diubah menjadi energi yang digunakan tubuh. Akibatnya, galaktosa menumpuk di dalam tubuh.

"Anak ini tidak punya enzim galt, sehingga galaktosa menumpuk di dalam tubuh. Penumpukan ini bisa merusak hati, sehingga gambarannya dia kuning, bisa feritin tinggi. kalau dibiarkan bisa merusak mata, otak, ginjal," katanya.

M. Estela Rubio-Gozalbo dari Department of Pediatrics and Clinical Genetics, GROW-School for Oncology and Developmental Biology, Maastricht University Medical Centre, Belanda dalam penelitian bersama koleganya yang dipublikasikan Orphanet Journal of Rare Diseases tahun 2019 mengungkapkan, bayi yang terkena Galaktosemia tipe 1 atau Galactosemia Klasik (GC) saat terpapar susu mengandung galaktosa mengalami kesulitan makan, gagal tumbuh, kerusakan hepatoseluler, E. coli sepsis, hipotonia, penyakit tubulus ginjal dan katarak.

Menurut mereka, berdasarkan data dari 509 pasien di 15 negara pada Desember 2014 hingga Juli 2018, diet galaktosa terbukti sangat efektif untuk bayi dengan galaktosemia klasik atau tipe 1. Diet ini digunakan sebagai landasan pengobatan untuk penyakit itu.

Sayangnya, meskipun diet, pasien tetap dapat mengalami komplikasi. Studi menemukan, kebanyakan pasien perempuan mengalami komplikasi yang mempengaruhi sistem saraf pusat dan mengakibatkan komplikasi kognitif, neurologis dan perilaku.

Di sisi lain, menurut Damayanti, anak dengan kondisi Galaktosemua tidak bisa diberi ASI karena kandungan laktosanya paling tinggi dibandingkan susu lainnya termasuk susu kedelai dan susu sapi.

Baca Juga: Gak Tega Lihatnya, Jemari Balqis Putus Sendiri, Derita Penyakit Langka

Pemberian susu kedelai juga mungkin bukan jalan keluar yang paling tepat, karena juga mengandung galaktosa. Pada kasus Gloria, susu kedelai justru membuat dia gelisah dan ginjalnya berdarah. Kondisi ini disebut dilema diet galaktosa.

"Akhirnya diberikan susu untuk alergi yang elemental, bisa. Jadi, ternyata mereka (pakar kesehatan) mengatakan susu untuk alergi menyelamatkan anak. Soy milk tidak bisa menjadi alternatif pemberian makanan anak yang mengalami galaktosemia," tutur Damayanti.

Saat ini, Gloria diketahui bisa tumbuh dengan baik seperti pada anak-anak pada umumnya.

Sama seperti 80 persen penyakit langka lainnya, Galaktosemia juga terjadi akibat kelainan genetik. Damayanti menemukan, dua kakak Gloria (anak kedua dan ketiga dari empat bersaudara) mengalami keluhan yang sama seperti Gloria, yakni tubuhnya kuning dan perut membuncit sebelum meninggal dunia.

"Jadi, kalau ada dua pasien keluarga yang punya kelainan mirip dengan dia, maka kita pikirkan ini suatu kelainan genetik. (Kasus Gloria) ada kelainan genetik sudah jelas, bukan hemakromatosis biasa. Kami lakukan pemeriksaan gen langsung,"kata Damayanti.

Walau orangtua normal, namun mereka berpeluang sebanyak 25 persen memiliki anak dengan kelainan. Pada kasus orangtua Gloria, anak kedua, ketiga, dan keempat yang diketahui memiliki kelainan gen.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI