Suara.com - Pemerintah Jepang masih akan terus mempertahankan kebijakan pembatasan masuk yang ketat, terutama bagi warga negara asing dari luar negeri.
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengatakan larangan dilakukan untuk mencegah penyebaran COVID-19 varian Omicron.
Meski begitu Kishida juga mengatakan bahwa sejumlah pengecualian untuk alasan kemanusiaan mungkin akan dipertimbangkan.
Jepang memberlakukan salah satu kebijakan pengendalian perbatasan yang paling ketat di dunia saat varian Omicron muncul akhir tahun lalu.

Semua orang non-Jepang dilarang masuk ke negara tersebut, termasuk para pelajar dan kerabat warga Jepang di luar negeri, kecuali untuk situasi-situasi tertentu.
"Berkat aturan perbatasan terketat di antara negara-negara G7, kami telah dapat menjaga penyebaran Omicron ke tingkat yang minimum, sehingga kami memiliki waktu untuk bersiap menghadapi infeksi domestik," kata Kishida pada wartawan.
"Kami akan menjaga kebijakan yang berlaku saat ini hingga akhir Februari... seraya mengambil langkah yang diperlukan dari perspektif kemanusiaan dan kepentingan nasional," tuturnya lagi.
Aturan saat ini mewajibkan karantina ketat selama enam hari di hotel bagi sebagian besar pendatang yang diperbolehkan masuk dan diikuti dengan karantina di rumah.
Kebijakan tersebut telah memicu protes dan petisi yang menuntut perubahan, terutama untuk mengurangi jumlah keluarga yang terpisah. Media melaporkan pada Selasa bahwa pemerintah tengah mempertimbangkan relaksasi sejumlah peraturan tersebut dalam kasus-kasus tertentu.
Baca Juga: Omicron Bikin Kasus Covid-19 Meningkat Drastis, Menkes Budi Minta Masyarakat Tidak Panik
Kishida mengatakan meski masih banyak yang belum diketahui tentang Omicron, risiko munculnya infeksi yang serius tampak rendah. Anak-anak berusia di bawah 12 tahun akan diberikan vaksin, ujarnya.