AS Teliti Kontaminasi BPA pada Makanan Kemasan, Pakar: Tak Boleh Sering Konsumsi Makanan Kaleng

Minggu, 27 November 2022 | 16:48 WIB
AS Teliti Kontaminasi BPA pada Makanan Kemasan, Pakar: Tak Boleh Sering Konsumsi Makanan Kaleng
Ilustrasi makanan kaleng. (Pixabay)

Suara.com - Masyarakat diingatkan, semakin banyak mengkonsumsi makanan kaleng, maka seseorang akan semakin berpeluang untuk terkontaminasi  Bisphenol-A (BPA). Hal ini merupakan hasil penelitian Universitas Stanford dan Johns Hopkins University, yang dipublikasikan Environmental Research.

“Jika saya makan tiga kaleng peach, orang lain makan satu kaleng sup krim jamur, maka saya akan memiliki paparan lebih besar terkena BPA," kata pemimpin penelitian, Jennifer Hartle dari Stanford Prevention Research Center, seperti dilansir Laboratory Equipment.

BPA merupakan senyawa kimia yang diberikan sebagai pelapis dalam kaleng makanan. Senyawa ini sempat menjadi senyawa andalan dalam pembuatan kemasan, namun sifat kimia yang mirip hormon membuat bahan ini dilarang pada beberapa produk, seperti botol bayi.

Penelitian fokus pada analisis kadar BPA dalam produk makanan kaleng dan mengukur paparan senyawa itu pada sekelompok manusia. Hartle dan tim menemukan bahwa makanan kaleng dengan BPA tinggi berpengaruh pada kandungan senyawa dalam urin manusia.

Kandungan BPA berbeda pada masing-masing jenis makanan. Namun beberapa jenis makanan kaleng  memiliki implikasi besar pada kandungan BPA dalam urin, seperti jenis sup, pasta, sayuran, dan buah.

Studi yang dilakukan oleh Hartle sebelumnya menemukan bahwa anak-anak menjadi pihak yang paling rentan terpapar BPA, karena makanan kaleng banyak digunakan pada menu makan siang di sekolah dan aneka jajanan lainnya.

Peluang Migrasi BPA Berbeda-beda 

Merujuk kepada penelitian ini, pakar kimia dari Departemen Kimia Universitas Indonesia (UI), Agustino Zulys menyarankan agar pihak berwenang, dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bisa segera melakukan uji laboratorium terhadap paparan BPA dalam kaleng.

“BPOM perlu meneliti sejauh mana migrasi dari pelapis kaleng anti karat atau BPA yang terdapat dalam kemasan kaleng di ke makanannya. Dalam hal ini, BPOM bisa melakukan kerjasama dengan perguruan tinggi,” ujarnya.

Baca Juga: Kandungan BPA dalam Makanan Kaleng, Seberapa Berbahayakah bagi Kesehatan?

Pakar teknologi pangan dari IPB, Azis Boing Sitanggang juga mengatakan adanya kecenderungan BPA dalam kemasan makanan kaleng itu bermigrasi ke bahan makanannya.

“Tapi seberapa besar pelepasan BPA-nya kita tidak tahu, karena di Indonesia belum ada studi untuk meng-compare langsung dan itu perlu dikaji lagi lebih jauh,” tuturnya.

Proses migrasi BPA dari kemasan kaleng bisa disebabkan beberapa faktor, diantaranya proses laminasi BPA-nya, PH atau tingkat keasaman produk dalam kemasan kaleng itu, dan pindah panas dari produk pangannya.

Dia mencontohkan sarden, jamur, nanas yang dikalengkan, beda-beda pindah panasnya saat disterilisasi, sehingga perlakuan kombinasi suhu dan waktu pemanasannya juga berbeda-beda.

“Ketika beda-beda, berarti peluang migrasi BPA-nya juga berbeda-beda. Tapi semakin asam bahan makanannya atau PH semakin rendah, semakin besar kemungkinan merusak laminasi epoksinya,” katanya.

Pakar polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ahmad Zainal Abidin, juga mengatakan, kemasan kaleng yang sudah rusak alias penyok tidak boleh dikonsumsi masyarakat. Hal itu disebabkan pecahnya lapisan epoksi yang melapisi logam pada kaleng kemasannya, sehingga mengakibatkan terjadinya migrasi BPA ke dalam produknya.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI