Suara.com - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerbitkan Surat Edaran untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap COVID-19 dan potensi wabah lainnya, menyusul lonjakan kasus di sejumlah negara Asia.
Meski kasus di Indonesia masih terkendali, pemerintah menekankan pentingnya kesiapsiagaan dan kolaborasi lintas sektor.
“Memasuki minggu ke-12 tahun 2025, COVID-19 menunjukkan peningkatan di Thailand, Hong Kong, Malaysia, dan Singapura,” kata Plt. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Murti Utami, dalam keterangan tertulis, Sabtu (31/5).
Murti menjelaskan, varian yang mendominasi berbeda-beda di tiap negara. Thailand mencatat dominasi varian XEC dan JN.1. Di Singapura, varian LF.7 dan NB.1.8—yang merupakan turunan JN.1—menjadi penyebab utama. Sementara itu, JN.1 juga terdeteksi kuat di Hongkong, dan Malaysia dilaporkan didominasi oleh varian XEC, juga turunan JN.1.

“Meski demikian, transmisi penularannya masih relatif rendah, dan angka kematiannya juga rendah,” ujar Murti.
Sementara itu, Indonesia justru mencatat tren penurunan. Pada minggu ke-20, hanya tiga kasus konfirmasi COVID-19 terdeteksi, turun dari 28 kasus di minggu sebelumnya. Tingkat positivity rate tercatat sebesar 0,59 persen. Varian dominan di dalam negeri saat ini adalah MB.1.1.
Meski situasi dalam negeri terkendali, Kemenkes meminta para pemangku kepentingan di sektor kesehatan untuk tidak lengah. Kewaspadaan dan deteksi dini perlu diperkuat.
Dalam Surat Edaran tersebut, Kemenkes menginstruksikan penguatan pemantauan terhadap tren penyakit seperti ILI (influenza-like illness), SARI (severe acute respiratory infection), pneumonia, dan COVID-19 melalui Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons (SKDR).
Selain itu, fasilitas kesehatan juga diminta menggencarkan promosi gaya hidup sehat. Kemenkes menekankan kembali pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), kebiasaan cuci tangan pakai sabun atau hand sanitizer, dan penggunaan masker bagi masyarakat yang sakit atau berada di kerumunan.
Baca Juga: COVID-19 Jadi Alasan? Orangtua di Spanyol Kurung Anak Sejak 2021, Kondisinya Bikin Merinding
“Segera ke fasilitas kesehatan apabila mengalami gejala infeksi saluran pernapasan dan ada riwayat kontak dengan faktor risiko,” tegas Murti.
Kaitan Covid-19 dan perubahan iklim
Sebuah jurnal berjudul Interactions between Climate and COVID-19 menyoroti tiga dimensi utama keterkaitan iklim dan pandemi.
Pertama, faktor cuaca seperti suhu, angin, dan kelembapan memengaruhi penularan COVID-19, meski pengaruhnya masih belum sepenuhnya dipahami. Studi menunjukkan bahwa faktor noniklim justru lebih dominan dalam penyebaran virus.
Kedua, peristiwa iklim ekstrem yang bertepatan dengan pandemi telah memperburuk situasi. Paparan penyakit meningkat, kerentanan masyarakat melonjak, respons darurat terganggu, dan sistem kesehatan menghadapi tekanan ganda.
Ketiga, perubahan iklim jangka panjang dan kerentanan prapandemi—terutama di komunitas rentan—telah memperbesar risiko COVID-19. Interaksi antara iklim dan pandemi sangat bergantung pada kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya di tiap wilayah.
Penulis jurnal menekankan pentingnya memasukkan risiko iklim dalam respons dan pemulihan pandemi. Perencanaan terpadu yang menggabungkan kesehatan masyarakat, kesiapsiagaan bencana, pembangunan berkelanjutan, dan manajemen darurat dinilai krusial, terutama di wilayah yang rawan bencana iklim.
Perlunya konsep One Health

Pandemi COVID-19 telah memperlihatkan keterhubungan erat antara manusia, hewan, dan lingkungan. Konsep One Health, yang menekankan interkoneksi antara ketiganya, kembali menjadi perhatian utama dalam merespons krisis kesehatan global.
Konsep ini pertama kali dikenalkan oleh Dr. Rudolf Virchow pada abad ke-19, dan kini dikembangkan sebagai pendekatan lintas disiplin untuk menghadapi tantangan besar seperti penyakit zoonosis, resistensi antimikroba, perubahan iklim, dan pencemaran lingkungan.
Direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, dalam Majelis Kesehatan Dunia 2020 menegaskan bahwa upaya membuat dunia lebih aman akan gagal jika mengabaikan “hubungan kritis antara manusia dan patogen, serta ancaman perubahan iklim.”
Krisis iklim memperburuk risiko kesehatan. Kenaikan suhu global, pencairan es, banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan memaksa manusia dan hewan bermigrasi. Perpindahan ini meningkatkan peluang kontak dan penularan penyakit lintas spesies.
Selain itu, krisis iklim berdampak langsung terhadap ketahanan pangan dan akses terhadap air bersih. WHO memperkirakan akan ada tambahan 250.000 kematian setiap tahun antara 2030–2050 akibat diare, malaria, dan kekurangan gizi, khususnya pada anak-anak.
Melindungi kesehatan manusia kini tidak cukup dengan intervensi medis semata. Tantangan lintas sektor menuntut respons kolaboratif. Kesehatan tak lagi dapat dipisahkan dari kondisi lingkungan dan keberlanjutan sistem pangan dan air.