Dalam acara yang sama, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D., AAK, menegaskan komitmen BPJS Kesehatan mendukung layanan neurologi, mulai dari penyesuaian tarif, distribusi dokter spesialis, hingga penyediaan obat.
“Kami ingin yang fair saja. Kalau memang seharusnya dibayar, ya dibayar. BPJS itu bayarnya ke rumah sakit, bukan langsung ke dokter, dan maksimal 15 hari setelah klaim diserahkan,” jelas Ali Ghufron.
Ia juga menyoroti kekurangan dokter spesialis neurologi di beberapa daerah. Akibatnya, resep obat sering kali dikeluarkan oleh PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis).
Untuk mengatasi hal ini, BPJS mengupayakan integrasi data tenaga medis melalui HFIS (Health Facility Information System), sehingga kewenangan peresepan lebih jelas dan terpantau.
BPJS Kesehatan juga mendorong langkah preventif melalui skrining kesehatan yang bisa dilakukan lewat aplikasi Mobile JKN. Misalnya, risiko stroke bisa dideteksi lebih dini bagi penderita hipertensi dan diabetes melitus.
“Peserta BPJS harus tahu bagaimana menjaga diri agar tidak jatuh stroke. Hipertensi harus dikendalikan, olahraga dijaga, pola makan diperhatikan. Jangan sampai sakit, baru menyesal,” tegas Ali Ghufron.
Ketersediaan Obat dan Alat Kesehatan Neurologi
Dr. Dra. Lucia Rizka Andalusia, Apt., M.Pharm., MARS, selaku Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI, menegaskan bahwa pemerintah terus memastikan ketersediaan obat neurologi melalui Formularium Nasional (Fornas).
“Fornas merupakan daftar obat terpilih yang menjadi acuan penulisan resep pada layanan kesehatan. Penerapannya adalah instrumen kendali mutu dan biaya, untuk menjamin pasien mendapatkan obat yang aman, bermutu, berkhasiat, dan cost effective,” jelas Lucia.
Baca Juga: Jarang Disadari Tapi Vital, Peran Apoteker di Tengah Transformasi Kesehatan
Jika ada obat yang tidak tercantum dalam Fornas, penggunaannya tetap dimungkinkan dengan persetujuan direktur rumah sakit atau Dinas Kesehatan setempat.
Selain itu, pemerintah juga memiliki Special Access Scheme (SAS) untuk mengimpor obat tertentu yang belum tersedia di Indonesia, dengan persetujuan dari Badan POM atau Kementerian Kesehatan.