Suara.com - Pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar menandatangani pakta integritas yang direkomendasikan oleh forum Itjima Ulama, kelompok Rizieq Shihab Cs.
Bahkan keduanya berani mempertaruhkan jabatannya apabila melanggar pakta integritas itu.
Pakta integritas yang disodorkan Ijtima Ulama tersebut berisikan 13 poin.
Pada poin terakhir, ada perjanjian apabila Anies dan Muhaimin melanggar 12 poin sebelumnya.
"Apabila saya melanggar segala klausul yang terdapat pada Pakta Integritas ini, maka saya bersedia untuk mengundurkan diri dari jabatannya," demikian isi pakta integritas yang dikutip Suara.com, Kamis (14/12/2023).
Dikonfirmasi terpisah, Anies mengakui telah meneken pakta integritas tersebut.
Ia menerangkan, penandatanganan pakta integritas dilakukan kurang lebih sebulan yang lalu.
"Sudah hampir sebulan, ya, dan nggak ada yang baru," ujar Anies kepada wartawan di Jambi, Kamis (14/11/2023).

Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut bersyukur setelah menandatangani pakta integritas yang disodorkan forum Ijtima Ulama.
Baca Juga: Akui Teken Pakta Integritas Ijtima Ulama Rizieq Shihab Cs, Anies Bersyukur Karena Ini
Menurutnya, dengan adanya teken pakta integritas itu, dukungan untuk pasangan AMIN akan semakin meningkat.
"Alhamdulillah sebuah keniscayaan dan kita berjuang terus untuk perubahan Indonesia yang lebih adil dan kita berjuang terus dengan dukungan ini Insyaallah jangkauannya makin luas lagi," terangnya.
Berikut 13 poin pakta integritas yang sudah diteken Anies-Muhaimin:
1. Bersedia menjaga persatuan dan kesatuan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 18 Agustus 1945 dari rongrongan Sekularisme, Islamofobia, Terorisme, Separatisme dan Imperialisme.
2. Bersedia menjalankan amanat TAP MPRS nomor XXV tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan Pelarangan Penyebaran Paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme, sehingga perlu mencabut Keppres No. 17 tahun 2022 dan Keppres No. 4 tahun 2023 serta Inpres No. 2 tahun 2023, yang memposisikan para pelaku pemberontakan G 30 S/ PKI sebagai Korban Pelanggaran HAM Berat dalam Peristiwa 1965-1966, padahal justru mereka pelaku Pelanggaran HAM Berat di tahun 1948 dan sepanjang tahun 1955 sampai dengan 1965.
3. Bersedia menjalankan amanat Perundang-undangan Anti-Penodaan Agama sebagaimana diatur dalam Perpres No. 1/PNPS/ 1965, yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1969 yang disisipkan dalam KUHP Pasal 156a, sehingga siapa pun yang menodai agama apa pun wajib diproses hukum, untuk melindungi semua agama yang diakui di Indonesia dari segala bentuk penistaan dan penodaan agama, termasuk para buzzer pengadu domba umat beragama dan pemecah belah bangsa yang dipelihara rezim.