“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS. Al-Baqarah [2]: 173).
Para ulama juga menjelaskan, memakan babi ini juga tidak hanya sebatas dagingnya, melainkan seluruh organ yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Arab hal ini sudah maklum, dan dikenal dengan istilah majaz mursal. Konsekuensinya adalah keharaman babi itu bukan hanya sebatas dagingnya tetapi juga mencakup organ tubuh lainnya.
“Ada dua pendapat dalam memahami frase ayat ‘wa lahmal khinzir’ (dan daging babi). Pertama, keharamannya hanya sebatas daging babi, bukan yang lainnya sesuai bunyi nash. Ini adalah pendapat Dawud bin Ali. Kedua, keharamannya itu umum mencakup semua organ tubuh babi. Sedangkan nash yang hanya menyebutkan sebatas dagingnya itu dimaksudkan untuk mengingatkan keseluruhan bagian organnya karena sebagian besar organ tubuh babi adalah dagingnya,” (Lihat Al-Mawardi, An-Nukat wal ‘Uyun, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, juz I, halaman 222).
Dengan demikian, memakan babi tidak bisa dibenarkan atau dihalalkan. Hal ini karena memakan babi dengan jelas dilarang dan tertulis di dalam Al Quran. Selain itu, larangannya tidak hanya sebatas daging, melainkan organ-organ lainnya.