Fenomena ini menunjukkan betapa timpangnya kondisi ketenagakerjaan saat ini. Banyak orang tua yang menginvestasikan waktu, tenaga, dan uang agar anak-anaknya bisa menempuh pendidikan tinggi dengan harapan kehidupan mereka akan membaik.
Namun, ketika fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya, muncullah rasa frustrasi yang tidak bisa diabaikan. Salah satu penyebab utama adalah mismatch, ketidaksesuaian antara kurikulum pendidikan tinggi dengan kebutuhan dunia industri.
Selain itu, lambatnya pertumbuhan lapangan kerja formal dan terbatasnya peluang di sektor yang membutuhkan keterampilan tinggi memperparah kondisi ini. Profesi ojol, yang fleksibel dan berbasis aplikasi, menjadi pelarian banyak orang.
Meskipun bisa memberi penghasilan, pekerjaan ini seringkali tidak sesuai dengan kompetensi akademis yang dimiliki lulusan S2. Alih-alih membangun karier sesuai bidangnya, mereka justru harus bertahan dalam realitas ekonomi yang keras.
Dalam konteks yang lebih luas, unggahan tersebut bukan sekadar curhatan pribadi. Ini adalah alarm sosial yang menandakan ada sesuatu yang tidak berjalan semestinya.
Bahwa pendidikan tinggi belum tentu menjadi jalan pintas menuju kesuksesan dan bahwa negara harus hadir untuk menjembatani kesenjangan tersebut.
Kisah ini menjadi peringatan bagi semua pihak, terutama pembuat kebijakan, bahwa pendidikan saja tidak cukup tanpa didukung ekosistem kerja yang siap menampung lulusannya.
Negara perlu bergerak lebih cepat, bukan hanya mencetak sarjana, tapi juga membuka lapangan kerja yang sepadan dengan ilmu dan pengorbanan mereka.
Baca Juga: Heboh Klub Alumni Diblokir Inces: Komentar Receh Berujung Blokir