Suu Kyi Kesampingkan Rohingya karena Politik?

Ardi Mandiri Suara.Com
Jum'at, 29 Mei 2015 | 17:14 WIB
Suu Kyi Kesampingkan Rohingya karena Politik?
Aung San Suu Kyi [Shutterstock]

Pada saat pemerintah Myanmar harus bertanggung jawab atas arus pengungsi Rohingya, disaat itu pula Suu Kyi gagal menggunakan "kekuatan moral" yang dimilikinya untuk membantu kaum minoritas tersebut.

Tapi, hanya beberapa bulan menjelang datangnya peluang terbesar dalam karir politiknya menghadapi pemilum, Suu Kyi pun menghadapi tekanan dari arah berlawanan, yaitu semakin kerasnya opini publik di negara mayoris pemeluk Budha itu bahwa kaum minoritas Muslim Rohingya dianggap sebagai imigran ilegal dari Bangladesh.

Tugas terberat Suu Kyi adalah mengamankan perubahan konstitusi junta yang didominasi militer dan saat ini melarangnya mengikuti pemilu presiden.

"Memperjuangkan Rohingya bisa berarti Suu Kyi menghadapi resiko kalah pemilihan.... itulah sebabnya berbicara soal Rohingya bukan menjadi pilihan baginya saat ini," kata pengamat soal Myanmar, Mael Raynaud.

Nasib suku Rohingya, salah satu minoritas yang paling teraniaya di dunia, semakin memburuk sejak 2012 ketika terjadi kerusuhan berdarah yang menelas puluhan jiwa dan menyebabkan 140.000 orang harus hidup sengsara di kamp pengungsi.

Kekerasan tersebut memicu gelombang kerusuhan anti-Muslim di Myanmar dan muncul bersamaan dengan meningkatnya nasionalisme Buddha secara berlebihan yang menebar kebencian terhadap kaum minoritas.

Kelompok Biksu garis keras menerjemahkan undang-undang dengan target kaum minoritas Muslim, termasuk rencana untuk memperkenalkan peraturan keluarga berencana dan pencabutan "kartu putih", identitas yang dimiliki oleh etnis Rohingya.

Liga Nasional Untuk Demokrasi, partai yang dipimpin Suu Kyi menyatakan bahwa mereka secara tegas menolak undang-undang soal agama yang kontroversial karena diskriminatif terhadap kaum wanita dan kelompok minoritas.

Karena hidup dikelilingi oleh kelompok mayoritas yang bermusuhan dan membatasi lapangan pekerjaan, kaum Rohingya pun tidak tahan dan memilih untuk berlayar dengan penuh resiko ke Malaysia.

Pada 19 Mei lalu, Suu Kyi memang pernah berkomentar dengan mengatakan bahwa pemerintah Myanmar harus memecahkan masalah pengungsi Rohingya dalam sebuah pertemuan langsung dengan publik ketika 3.500 pengungsi mendarat di Thailand, Malaysia dan Indonesia.

Tapi yang berbicara lebih langka justru juru bicara Suu Kyi yang mengatakan kepada AFP bahwa masalah Rohingya adalah masalah hak azasi manusia.

"Dengan latar belakang kebencian mendalam terhadap Rohingya dan hasil jajak pendapat, Suu Kyi harus memainkan catur politik yang penuh intrik," kata Peter Popham, penulis biografi pemimpin oposisi itu. (Antara)

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI