Suara.com - Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Kabupaten Jombang menilai pemerintah tidak wajib mengikuti Majelis Ulama Indonesia terkait Badan Pelaksana Jaminan Sosial Kesehatan. Keputusan MUI dinilai tidak mengikat.
Anggota Dewan Ahli ISNU Kabupaten Jombang Aan Anshori mengatakan meski tidak menyematkan syariah, BPJS merupakan instrumen tolong-menolong (ta'awun) berbasis kegotongroyongan yang menjamin terlindunginya tujuan syariah (maqashid al-syariah), yakni melindungi jiwa (al-nafs), keturunan (al-nasl), kebebasan berpikir (al-aql), harta benda (al-maal) dan kemerdekaan beragama atau berkeyakinan (al-din).
Oleh karena itu, Aan berpendapat tidak perlu lagi disematkan embel-embel syariah karena BPJS secara umum telah sesuai syariah.
Menurutnya, usulan BPJS syariah oleh MUI perlu diletakkan secara kritis dalam konteks persaingan bisnis. Aan mengatakan entah sadar atau tidak, MUI nampaknya telah dimanfaatkan segelintir kekuatan kapitalistik yang ingin mengeruk keuntungan dengan menggunakan jargon agama.
"Saya benar-benar kasihan dengan MUI karena terkesan dimanfaatkan mereka," katanya saat dihubungi Suara.com, Jumat (31/7/2015).
Di sisi lain, Aan mengapresiasi kritik MUI soal BPJS Kesehatan. Pemerintah juga harus jujur soal banyaknya kelemahan dalam implementasi BPJS. Misalnya, terkait syarat pengikutsertaan seluruh keluarga bagi peserta mandiri yg bersifat memaksa, hingga buruknya kualitas layanan.
"Ke depan, negara harus berupaya tidak lagi membebani lagi rakyat dengan pembayaran premi karena mereka sudah membayar pajak," katanya.
Sekedar informasi, baru-baru ini MUI bersuara keras tentang BPJS. Secara umum dalam fatwanya, MUI menilai BPJS mengandung unsur yang dilarang oleh agama Islam, seperti maysir, gharar, dan riba. Sehingga, MUI berpandangan pentingnya penambahan label syariah di belakang tulisan BPJS.
Wakil Ketua MUI Ma'ruf Amin mengatakan BPJS belum sesuai syariah, tapi boleh digunakan karena faktor kedaruratan lantaran sampai kini belum ada BPJS syariah. [Yovie Wicaksono]