Suara.com - Kapolri Jenderal Tito Karnavian menginstruksikan Kepala Divisi Humas Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar untuk menemui aktivis Koordinator Eksekutif Kontras, Haris Azhar, menyangkut tulisannya yang berisi pengakuan terpidana mati Freddy Budiman. Tulisan Haris Azhar yang berisi cerita rahasia dari Freddy tentang aparat penegak hukum dalam menangani kasus narkoba tersebut tersebar luas menjelang eksekusi mati Freddy.
"Saya sudah tugaskan Pak Kadiv Humas untuk bertemu Pak Haris Azhar, informasinya tepatnya seperti apa," kata Kapolri di Mabes Polri, Jumat (29/7/2016).
"Karena kalau kita lihat yang beredar viral itu informasinya kan nggak jelas, ada polisi, ada disebut-sebut nama-nama BNN, yang lain-lain ya, nah kita ingin tahu, apakah Pak Haris Azhar mendapat informasi itu, ada nggak nama-nama yang jelas berikut buktinya," Kapolri menambahkan.
Kapolri mengatakan sudah membaca semua isi tulisan yang mengatasnamakan Haris Azhar.
"Sudah, sudah saya baca," kata dia.
Kapolri mengatakan informasi tersebut akan segera ditindaklanjuti kalau ada data lengkapnya.
"Saya tugaskan Pak Kadiv Humas untuk bertemu Pak Haris Azhar, kalau memang ada data lengkap akan kita follow up. Tapi kalau hanya data seperti yang viral itu saja, ini bisa diterjemahkan, bisa saja terjadi kita akan dalami, tapi bisa saja jadi alasan yang bersangkutan untuk menunda eksekusi, supaya rame jadi tunda eksekusi," katanya.
Berikut ini adalah surat elektronik yang dimaksud:
"Cerita Busuk dari seorang Bandit"
Kesaksian bertemu Freddy Budiman di Lapas Nusa Kambangan (2014)
Di tengah proses persiapan eksekusi hukuman mati yang ketiga dibawah pemerintahan Joko Widodo, saya menyakini bahwa pelaksanaan ini hanya untuk ugal-ugalan popularitas. Bukan karena upaya keadilan. Hukum yang seharusnya bisa bekerja secara komprehensif menyeluruh dalam menanggulangi kejahatan ternyata hanya mimpi. Kasus Penyeludupan Narkoba yang dilakukan Freddy Budiman, sangat menarik disimak, dari sisi kelemahan hukum, sebagaimana yang saya sampaikan dibawah ini.
Di tengah-tengah masa kampanye Pilpres 2014 dan kesibukan saya berpartisipasi memberikan pendidikan HAM di masyarakat di masa kampanye pilpres tersebut, saya memperoleh undangan dari sebuah organisasi gereja. Lembaga ini aktif melakukan pendampingan rohani di Lapas Nusa Kambangan (NK). Melalui undangan gereja ini, saya jadi berkesempatan bertemu dengan sejumlah narapidana dari kasus teroris, korban kasus rekayasa yang dipidana hukuman mati. Antara lain saya bertemu dengan John Refra alias John Kei, juga Freddy Budiman, terpidana mati kasus Narkoba. Kemudian saya juga sempat bertemu Rodrigo Gularte, narapidana WN Brasil yang dieksekusi pada gelombang kedua (April 2015).
Saya patut berterima kasih pada Bapak Sitinjak, Kepala Lapas NK (saat itu), yang memberikan kesempatan bisa berbicara dengannya dan bertukar pikiran soal kerja-kerjanya. Menurut saya Pak Sitinjak sangat tegas dan disiplin dalam mengelola penjara. Bersama stafnya beliau melakukan sweeping dan pemantauan terhadap penjara dan narapidana. Pak Sitinjak hampir setiap hari memerintahkan jajarannya melakukan sweeping kepemilikan HP dan senjata tajam. Bahkan saya melihat sendiri hasil sweeping tersebut, ditemukan banyak sekali HP dan sejumlah senjata tajam.
Tetapi malang Pak Sitinjak, di tengah kerja kerasnya membangun integritas penjara yang dipimpinnya, termasuk memasang dua kamera selama 24 jam memonitor Freddy budiman. Beliau menceritakan sendiri, beliau pernah beberapa kali diminta pejabat BNN yang sering berkunjung ke Nusa Kambangan, agar mencabut dua kamera yang mengawasi Freddy Budiman tersebut.
Saya mengangap ini aneh, hingga muncul pertanyaan, kenapa pihak BNN berkeberatan adanya kamera yang mengawasi Freddy Budiman? Bukankah status Freddy Budiman sebagai penjahat kelas “kakap” justru harus diawasi secara ketat? Pertanyaan saya ini terjawab oleh cerita dan kesaksian Freddy Budiman sendiri.
BERITA TERKAIT
Hamas Hukum Mati Anggotanya Sendiri Atas Tuduhan Homoseksualitas dan 'Percakapan Tak Bermoral'
07 Februari 2025 | 03:05 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI