Suara.com - Ombudsman RI (ORI) menyatakan sedikitnya 17,5 juta jiwa penduduk Indonesia belum memiliki kartu tanda penduduk (KTP) elektronik karena mereka belum terlayani, baik layanan perekaman maupun pencetakan.
Dari hasil monitoring dan kajian pelayanan publik KTP elektronik di 34 provinsi, ORI menemukan pelambatan minat masyarakat pada 2 tahun terakhir dalam mengurus KTP elektronik karena kelambanan, kerumitan, bahkan percaloan dalam pelayanan.
"Ada yang urus KTP sampai tahunan belum mendapatkan KTP elektronik dan harus mengantre tidak hanya sekali. Hingga kini, masih marak percaloan yang mengharuskan warga membayar Rp200 ribu s.d. Rp300 ribu. Pemerintah harus segera mencari terobosan untuk menyelesaikan pelayanan KTP elektronik yang 17,5 juta tersebut," kata anggota Ombudsman Ahmad Suaedy pada konferensi pers di Jakarta, Senin.
Suaedy mengatakan bahwa keterbatasan blangko KTP elektronik juga menjadi kendala karena pemerintah hanya menyediakan 4,5 juta blangko pada tahun 2016, sementara di awal Juli lalu Kemendagri mengumumkan bahwa masih ada 22 juta jiwa penduduk yang belum mendapatkan KTP elektronik.
Selain itu, hasil temuan Ombudsman juga mencatat ada beberapa kecamatan di kabupaten luar Jawa yang hingga kini belum melakukan perekaman data dan pencetakan karena terkendala sarana dan prasarana.
Sarana dan prasarana yang terkendala tersebut, seperti koneksi internet yang tidak lancar, listrik yang sering mati, dan kerusakan alat perekaman di kecamatan, serta alat pencetakan di Dinas Pendudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil).
Data monitoring Ombudsman di seluruh provinsi Indonesia, tercatat 81,4 persen daerah terjadi pemadaman listrik, 51 persen koneksi internet yang bermasalah, dan 23,35 persen kondisi mesin pencetak yang rusak.
Anggota Ombudsman lainnya, Ninik Rahayu, mengungkapkan petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang tidak perinci dan jelas makin memperbanyak kesalahan administrasi dalam pelayanan KTP elektronik.
"Contohnya Pemerintah Kota Surabaya sudah membuat tata cara, sayangnya tidak dipahami dengan baik oleh masyarakat karena sosialisasinya tidak sampai. Masih ditemukan adanya surat pengantar dari RT/RW, padahal syarat tersebut tidak dicantumkan lagi di KTP elektronik," ujar Ninik.
Selain itu, ada kecamatan yang ditemukan menerapkan kuota pemohon pendaftaran perekaman dalam sehari 50 orang, tetapi ada juga yang menerapkan antrean berdasarkan kuota pengambulan nomor dengan batas waktu hingga pukul 12.00 WIB.
ORI berharap kaum difabel dan lansia dilayani dengan perlakuan yang berbeda, seperti layanan "jemput bola" yang tidak hanya diterapkan di tempat keramaian. (Antara)
Mengejutkan, Ini Jumlah Penduduk Indonesia yang Belum Punya e-KTP
Ruben Setiawan Suara.Com
Selasa, 11 Oktober 2016 | 05:35 WIB

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
KPK Optimis Ekstradisi Tannos: 5 Bahan Ini Jadi Kunci Taklukkan Pengadilan Singapura?
26 Juni 2025 | 21:36 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI