Memutus Belenggu Budaya Pernikahan Dini

Reza Gunadha Suara.Com
Selasa, 21 November 2017 | 01:56 WIB
Memutus Belenggu Budaya Pernikahan Dini
Ilustrasi pernikahan dini. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ika (bukan nama sebenarnya), menikah pada usia 14 tahun. Sekarang, pada usia 18 tahun, dia memiliki dua anak, satu lelaki dan satu perempuan.

 “Kalau dulu saya menikah karena orang tua bilang takut zina. Tapi saya tidak mau kalau anak perempuan saya yang masih kecil sudah menikah, kasihan saya melihatnya. Biar sekolah dulu lah, biar cerdas,” tutur Ika kepada Anadolu Agency yang mengunjunginya di Bale Istri, Desa Ancolmekar, Kabupaten Bandung, Sabtu (18/11/2017).

Ika aktif mengikuti acara pengajian dan tafsir yang dilakukan oleh Bale Istri. Menurut ibu muda ini kegiatan tersebut membuka matanya tentang tingginya status perempuan dalam agama Islam, hingga menjadikannya semangat belajar agama.

Ika tidak sendirian. Ada sekitar 50 ibu-ibu dan anak-anak gadis lain yang juga aktif berkegiatan di Bale Istri yang sudah ada sejak 2007 silam.

Secara rutin mereka berkumpul selepas Zuhur di ruangan kecil dan sederhana. Mereka saling menyalami dan menanyakan kabar masing-masing, sambil menambah ilmu.

Inisiatif Bale Istri dibentuk oleh organisasi Sapa Institut sebagai pusat pendidikan, informasi dan komunikasi bagi perempuan. Inisiatif yang didorong setelah melihat ada kebutuhan mendesak untuk itu di wilayah Jawa Barat, yaitu pernikahan usia dini yang menjadi hal umum di kawasan tersebut.

Menurut definisi UNICEF, perkawinan usia anak adalah yang dilakukan sebelum mencapai usia dewasa, yaitu 18 tahun. Sebuah laporan dari UNICEF dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan hingga 30,5 persen perempuan di provinsi Jawa Barat masuk kategori menikah pada usia anak.

“Faktor budaya yang masih paling dominan dibalik fenomena itu. Ada juga karena faktor ekonomi. Dan kami melihat pentingnya peran orang tua untuk menghentikan itu, karena urusan anak masih menjadi urusan orang tua,” kata Dindin Syaripudin, Koordinator Program di Sapa Institut, kepada Anadolu Agency.

Baca Juga: Ada Kemungkinan Laila Sari Dikubur Satu Liang Lahat dengan Suami

Belajar Kesetaraan Gender

Pertemuan rutin Bale Istri ini memiliki agenda khusus yaitu membuka diskusi mengenai kesetaraan gender, yang diharapkan bisa memutus rantai kekerasan yang kerap dialami perempuan setempat, termasuk pernikahan usia anak.

Dindin tidak segan memberikan label korban bagi mereka yang menikah pada usia muda. Menurut dia, para perempuan itu dianggap korban karena banyaknya hak mereka yang dirampas setelah harus menikah.

“Banyak dari mereka yang kemudian putus sekolah, padahal baru SMP. Mereka juga tidak bisa menikmati masa muda yang sewajarnya,” jelas dia.

Sedikit demi sedikit, makin banyak masyarakat juga melihat betapa kejinya menikahkan anak di bawah umur walaupun sudah dianggap norma oleh orang banyak. Salah satunya dirasakan langsung oleh Ruslan, petugas Kantor Urusan Agama setempat.

“Secara moral, saya dengan berat hati menolak bila diminta melaksanakan pernikahan bila pasangannya masih belasan tahun. Tapi ketika saya tidak menerima, saya bisa kena sanksi. Dan mereka juga bisa minta dinikahkan oleh penghulu yang lain,” sesal Ruslan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI