Catatan AJI 2017: Ada Fakta Mengkhawatirkan soal Pers Indonesia

Rabu, 27 Desember 2017 | 17:39 WIB
Catatan AJI 2017: Ada Fakta Mengkhawatirkan soal Pers Indonesia
Jurnalis Tempo sekaligus Ketua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan. [Suara.com/Adhitya Himawan]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Lainnya soal hukum positif dan regulasi di Indonesia juga masih kurang bersahabat dengan pers. Di antaranya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Intelijen dan Undang-Undang Pornografi, serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dari keempatnya, Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kemudian direvisi pada 21 Desember 2015 juga memberi celah yang bisa mengancam kebebasan pers. Salah satunya adalah adanya pasal yang memungkinkan pemerintah memblokir situs tanpa melalui pengadilan.

“Selain UU ITE, regulasi lain yang saat ini dibahas adalah Rancangan Undang Undang Penyiaran. AJI, yang tergabung dalam Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP), menyayangkan perkembangan pembahasannya. Salah satu hal paling krusial adalah soal penerapan pola multiplekser dalam digitalisasi. Soal inilah yang menyebabkan tertundanya kembali pengesahan RUU UU Penyiaran. Penundaan terjadi akibat terjadi kebuntuan pada rapat gabungan antara Badan Legislatif dan pengusul (Komisi I) DPR, 3 Oktober 2017. Ketidaksepakatan itu terjadi dalam penentuan penataan migrasi memasuki penyiaran digital dalam hal pemilihan penyelenggaraan multiplekser (mux),” kata Manan.

AJI menilai pilihan multiplekser tunggal dalam penyiaran digital yang otoritasnya diserahkan kepada negara adalah pilihan yang terbaik untuk kepentingan publik karena beberapa alasan. Dengan pola mux tunggal, akan terjadi penghematan spektrum frekuensi radio untuk keperluan penyiaran komersial.

“sehingga akan ada sisa frekuensi yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penyiaran non-komersial dan kepentingan komunikasi non-penyiaran. Oleh karena itu migrasi ke penyiaran digital dinilai mampu memberikan peluang usaha dan penataan industri siaran yang lebih adil bagi masyarakat. Selain itu publik bisa memperoleh keuntungan dalam penyiaran digital khususnya untuk mendukung kepentingan penyiaran non-komersil seperti untuk pendidikan, kesehatan, anak-anak hingga penanganan bencana alam,” tutup dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI