Kedua, segera menyempurnakan proses pengalihan aset sesuai MSAA.
Ketiga BPPN diminta untuk melaporkan secara rinci penyelesaian audit finansial Dipasena untuk mendapatkan persetujuan KKSK.
Mengenai utang petambak Dipasena, Boediono menyatakan, “Pada pokoknya petambak mempunyai kewajiban penyelesaian utangnya, tapi kemudian ada usulan BPPN agar diperingan bebannya. Saya lupa angkanya berapa, tapi tujuannya untuk membantu petambak. Karena saya ingat dan sampaikan, kalau ini semua sesuai aturan tentu ini sesuatu yang baik.”
Akhirnya, utang petambak disesuaikan dari awalnya Rp 135 juta/orang menjadi Rp 100 juta/orang untuk 11 ribu petambak, sehingga totalnya Rp 1,1 triliun. Rapat KKSK memutuskan tidak ada misrepresentasi kewajiban Sjamsul Nursalim dan petambak.
Mengenai semua masukan dan pembahasan, menurut Boediono, KKSK mendapatkan bahan dari BPPN, Tim Bantuan Hukum (TBH), Tim Pengarah Bantuan Hukum (TPBH). Ada juga hasil audit dari Ernst and Young.
Secara terpisah kepada wartawan, Syafruddin mengatakan, keputusan KKSK 7 Oktober 2002 itulah yang dia laksanakan. Dia menagih Rp 428 miliar kepada Sjamsul Nursalim, termasuk mengambil 12 perusahaan milik Sjamsul Nursalim.
“Lalu kita laporkan pada 17 Maret (2004), semua diteliti oleh TBH, TPBH, Oversight Commitee, sudah selesai. Karena sudah selesai maka KKSK memutuskan kepada BPPN, terbitkan SKL. Jadi saya menerbitkan SKL atas keputusan KKSK,” kata Sjafruddin.
Mengapa Syafruddin tidak melaporkan misrepresentasi? Menurut dia, hal itu bukan kewenangannya.
“Pak Boed (Boediono) benar, bahwa itu bukan tugas saya. Tapi KKSK memerintahkan TBH, TPBH, OC yang mengevaluasi. Hasil evaluasi itulah yang jadi pegangan KKSK.”
Jadi pada saat keputusan KKSK 7 Oktober 2002 itu, lanjut Sjafruddin, kewajiban Sjamsul Nursalim belum selesai yakni penyerahan aset 12 perusahaan dan kekurangan Rp 428 miliar.
“Selama Oktober 2002 sampai Desember 2003 itu BPPN menyelesaikan, dan dilaporkan ke KKSK, lalu KKSK memerintahkan TBH, TPBH, OC untuk mengkaji, dan keputusannya, terbitkan (SKL),” ujarnya.
Syafruddin juga menyatakan dasar lain penerbitan SKL adalah Keputusan Menteri BUMN selaku atasan langsung pada 17 Maret 2004.
Mengenai utang petambak, Syafruddin mengakui adanya hapus buku sehingga jumlahnya menjadi Rp 1,1 triliun.
“Tapi dia tidak hapus tagih karena penjaminan intinya, Dipasena masih ada. Berapapun sisanya akan dibayar oleh perusahaan inti. Inti Dipasena inilah yang diambil dan dikuasai BPPN sehingga restrukturisasi dan revitalisasi gampang. Ini yang diserahkan ke Menteri Keuangan dan PPA,” ujarnya.
Dengan demikian pada 27 Februari 2004, utang petambak Rp 4,8 triliun dan perusahaan inti Dipasena senilai Rp 19,9 triliun, sudah diserahkan ke Menteri Keuangan.