Suara.com - Siapa yang tak kenal nama Bung Tomo. Ia tak hanya seorang pahlawan nasional, namun juga legenda. Pidato heroiknya amat termasyur sebagai pengobar semangat tempur dalam Peristiwa 10 November 1945. Selain itu dia salah satu pemimpin laskar yang sangat legendaris yang belakangan ditarik ke Kementerian Pertahanan.
Pada peristiwa pertempuran 10 November 1945 pengobar semangat justru bukan pria berkepala cepak ala tentara. Atau bahkan seorang didikan militer layaknya Napoleon. Sang pengobar semangat milisi pro kemerdekaan Indonesia saat itu justru sosok pemuda gondrong ala Arung Palakka. Dia bahkan tak bersenjatakan gaman atau bedil, melainkan mikropon.
Bung Tomo muda bukan orang yang grasa grusu. Meski gondrong kepalanya jernih ditunjang dengan otak yang cerdas. Sebagai pemuda yang pernah duduk di bangku sekolah kolonial, dia tahu teknologi bernama radio. Lewat mikrofon dan pancaran Radio Pemberontakan milik Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) tersiar pidato-pidatonya yang menjaga dan membakar moral arek-arek Suroboyo.
Isi pidato-pidatonya lazim dibuka dengan 'Bismillahirahmanirrahim", disisipi "Merdeka" dan diakhiri pekikan "Allahu Akbar".
Kehidupan Bung Tomo
Dikutip dari laman Sejarahri.com, Bung Tomo lahir pada 3 Oktober 1920 di Surabaya, Jawa Timur. Sutomo lebih dikenal dengan nama Bung Tomo oleh rakyat. Bung Tomo dibesarkan dalam keluarga kelas menengah, dan juga keluarga yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi pendidikan.
Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo adalah seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Ia pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda.
Bung Tomo mengaku mempunyai pertalian darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran Diponegoro. Ibunya berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura.
Bung Tomo suka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan agar menjadi lebih baik. Pada saat usia 12 tahun, ketika ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO, Bung tomo melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu. Belakangan ia menyelesaikan pendidikan HBS-nya lewat korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus.
Baca Juga: Deretan Wasiat Pahlawan Nasional, dari Soekarno hingga Bung Tomo
Di usia muda Bung Tomo aktif dalam organisasi kepanduan atau KBI. Bung Tomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Sutomo menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik untuk pendidikan formalnya.
Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda.
Bung Tomo memiliki minat pada dunia jurnalisme. Ia pernah bekerja sebagai wartawan lepas pada Harian Soeara Oemoem di Surabaya pada tahun 1937. Setahun kemudian, ia menjadi Redaktur Mingguan Pembela Rakyat serta menjadi wartawan dan penulis pojok harian berbahasa Jawa, Ekspres, di Surabaya pada tahun 1939.
Pada masa pendudukan Jepang, Bung Tomo bekerja di kantor berita tentara pendudukan Jepang, Domei, bagian Bahasa Indonesia untuk seluruh Jawa Timur di Surabaya pada tahun 1942-1945.
Saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, beilau memberitakannya dalam bahasa Jawa bersama wartawan senior Romo Bintarti untuk menghindari sensor Jepang. Selanjutnya, beliau menjadi Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya.
Ditahan Soeharto