“Kalau dialog pakai cara Alquran, mari kita duduk sama-sama. Apa pandangan Anda? Apa dalil Anda? Lawan pun akan jadi kawan. Yang tidak kenal akan jadi kenal dan kita akan saling mengasihi,” tambahnya.
Sementara Miftah Rahmat dari Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI) mengatakan dialog ini menjadi kesempatan orang untuk merobohkan prasangka.
“Saya kira ini sangat konstruktif. Insya Allah silaturahmi pertemuan semacam ini dapat mencairkan berbagai hal yang mungkin selama ini mengendap—yang tidak tersampaikan, tidak tertanyakan—dengan perbanyak ruang interaksi, Insya Allah, bisa mencair,” ujarnya.
Miftah menambahkan, di antara perbedaan antar-denominasi ini, semuanya sepakat soal akhlak atau perilaku baik. Karena itu, ujarnya, setiap orang harus ‘berlomba dalam kebaikan’ sebagaimana diperintahkan kitab suci.
“Bahwa kita harus menghormati sesama kita, tidak boleh memfitnah, riba, menyebarkan dusta dan hoaks. Saya kira itu semuanya kita sepakat. Marilah kita mulai dari yang disepakati,” tambahnya.
Menurut Agus Zainal Mubarok, dialog di tataran teologis ini perlu dilanjutkan. Bahkan, bisa diterapkan secara lintas-agama.
“Mudah-mudahan ini menjadi pengertian. Bukan berarti sama dan seragam, tidak. Tapi ada pengertiannya bahwa perbedaannya berada pada titik-titik anu atau pada level anu. Itu yang penting,” imbuhnya yang juga pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Barat.
Kelompok Syiah dan Ahmadiyah kerap menjadi korban peristiwa intoleransi sejak 10 tahun terakhir, menurut SETARA Institute. Kelompok Syiah di Sampang, Jawa Timur, terusir dari rumah mereka sejak 2012 karena konflik berujung kekerasan dari kelompok intoleran. Kelompok Ahmadiyah di Lombok, NTB, juga mengalami hal yang sama sejak 2006.
Acara yang digagas JAI dan IJABI ini diakhiri dengan buka puasa dan salat magrib bersama. Di antara puluhan audiens yang hadir, nampak sejumlah perwakilan kelompok lintas-iman dari Kristen Protestan, Katolik, Kristen Ortodoks, dan Baha’i.
Baca Juga: Warga Ahmadiyah Dilarang Golput