Kisah Perempuan Pejuang Pembela HAM Petani Batanghari yang Diintimidasi

Jum'at, 24 April 2020 | 02:05 WIB
Kisah Perempuan Pejuang Pembela HAM Petani Batanghari yang Diintimidasi
Petisi untuk aktivis HAM Era Purnama Sari yang diserang hoaks dan dipersekusi (instagram/@yayasanlbhindonesia)

Suara.com - Memperjuangkan dan membela keadilan bagi masyarakat kecil di Indonesia bukan perkara mudah. Hal ini dialami pengacara publik dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Era Purnamasari. Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI ini belakangan mendapatkan ancaman pembunuhan, intimidasi, persekusi hingga diserang berita bohong yang bernada membunuh karakter dan moralnya. Semua dialami saat Era mendampingi petani Serikat Mandiri Batanghari (SMB) yang terjerat sengketa dengan PT Wira Kraya Sakti, Anak perusahaan Sinarmas Group. 

***

BAGAI tersambar petir di siang bolong, Era Purnamasari kaget membaca berita bohong yang menuduhnya berselingkuh dengan seorang pejabat kementerian. Berita yang dibacanya itu, dipublikasikan melalui agregator media dan sejumlah media daring abal-abal.

Berita tendensius itu muncul, sehari setelah dia melaporkan kasus penangkapan sejumlah petani Serikat Mandiri Batanghari (SMB) Jambi ke Komnas HAM pada Jakarta pada 6 Agustus 2019.

Kejadian tersebut berselang beberapa pekan, setelah Era bersama rekan dari YLBHI melakukan investigasi kasus dugaan penganiayaan dan kriminalisasi terhadap puluhan petani oleh anggota kepolisian yang juga merangkul personel TNI di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi.

Saat itu, Era sedang menelisik dugaan pelanggaran HAM pada kasus tersebut. Itu sebabnya, saat berita bohong tersebar di berbagai media, dia merasa yakin serangan balik terhadap dirinya dan institusi dia mengabdi YLBHI pun tengah dimulai. 

“Itu adalah bentuk serangan balik kepada YLBHI dan saya pribadi karena menangani penangkapan petani-petani Serikat Mandiri Batanghari di Jambi,” kata Era kepada Suara.com, baru-baru ini.

Saat menyelidiki kasus penangkapan tersebut, Era dan tim kesulitan mendapatkan surat kuasa sebagai pendamping hukum. Lantaran puluhan petani yang hendak dibelanya masih ditahan polisi di Markas Kepolisian Daerah Jambi.

Tak hanya itu, Era juga kesulitan menjajaki komunikasi dengan keluarga korban, karena mereka takut dan tak mudah percaya dengan orang-orang baru di luar perkumpulan petani. 

Baca Juga: Uut, Wanita Tangguh Pendamping Suku Anak Dalam Jambi

Tetapi, setelah YLBHI merilis hasil investigasi terkait indikasi pelanggaran HAM dalam penangkapan puluhan petani SMB, korban dan keluarga mulai percaya dengan niat Era membela mereka.

Hingga akhirnya, sejumlah ibu-ibu dari keluarga petani yang ditangkap itu nekat berangkat ke Jakarta menyambangi kantor YLBHI dan mencari bantuan keadilan. Walau mereka juga diteror orang tak dikenal, karena berangkat ke ibu kota untuk membongkar kasus tersebut.

Berbekal kepercayaan dari korban dan keluarga tentu saja tak cukup. Sebab Era tak kunjung mendapatkan surat kuasa, setelah polisi menghalang-halanginya dan tim untuk bertemu puluhan petani yang meringkuk di jeruji besi sel Polda Jambi. Berbagai cara pun dikerahkan agar dirinya bisa mendapatkan surat kuasa dari para korban. 

“Mulai dari proses di kepolisian, kami tidak dapat akses masuk ke sel, bahkan untuk mendapatkan hak kuasa saja itu kami sembunyi-sembunyi melalui keluarga,” ujarnya.

Pendampingan Dihalang-halangi 

Pihak keluarga baru mendapatkan askes bertemu korban setelah kasus penangkapan itu menjadi sorotan media nasional. Melalui pihak keluarga, Era dan tim mendapatkan hak kuasa sebagai penasehat hukum dari sejumlah petani yang berstatus sebagai tersangka.

Menurut Era, puluhan petani dikriminalisasi dengan tuduhan yang berbeda-beda. Mulai dari tuduhan kejahatan merusak fasilitas barang, pencurian, melawan aparat hingga perkara penganiayaan. 

“Kami baru mendapatkan kuasa para petani SMB itu melalui pihak keluarga. Beberapa di antaranya menandatangani kuasa dengan cap jempol,” kata Era.

Namun sayang, saat mendampingi para petani, Tim YLBHI gagal mengakses warga dari Suku Anak Dalam yang juga ditahan bersamaan dengan para petani SMB. Menurutnya, polisi menggunakan sejumlah trik agar warga dari Suku Anak Dalam tak bisa mendapatkan dampingan dirinya.
 
“Warga Suku Anak Dalam itu diproteksi sedemikian rupa, mereka dipisahkan sel-nya dari tahanan lain,” ungkapnya. 

Ketika tim kuasa hukum dari YLBHI hendak menemui para petani di sel, pihak kepolisian tanpa koordinasi dan pemberitahuan meningkatkan proses hukumnya menjadi tahap dua atau pelimpahan perkara ke Kejaksaan Tinggi Jambi. Saat itu, kejaksaan pun kaget para petani didampingi oleh tim kuasa hukum dari YLBHI, sebab sebelumnya mereka telah diberi penasehat hukum yang ditunjuk oleh kepolisian. 

Sama halnya dengan polisi, jaksa pun turut menghalang-halangi Era dan Tim Pengacara Publik YLBHI bertemu dengan petani. Menurut pengakuannya kepada Era, para petani itu ditekan supaya tidak didampingi dari kuasa hukum YLBHI.
 
Sementara saat itu, meski belum bertatap muka dengan Era dan tim, para petani sudah mendapatkan kabar dari keluarga kalau mereka akan mendapat pendamping hukum dari YLBHI. 

Jaksa yang menangani perkara ini kemudian mengumpulkan para petani pada awal September 2019 di Kejaksaan Negeri Jambi. Satu per satu mereka ditanya jaksa, siapa kuasa hukumnya? Apakah Era, pengacara publik YLBHI atau kuasa hukum probono yang ditunjuk oleh polisi. Saat itu, Era mengaku khawatir dengan pertanyaan Jaksa yang sengaja mengarahkan agar para korban memilih pengacara dari kepolisian.

“Terus aku ambil alih dan menanyakan langsung. Bapak-bapak saya Era dari YLBHI, Bapak-bapak kuasa hukumnya siapa? Saya atau bapak ini (kuasa hukum yang ditunjuk Polisi)? Terus saya bilang yang kuasa hukumnya saya, silahkan angkat tangan. Semuanya angkat tangan,” ujar Era menceritakan. 

Melalui perdebatan panjang, tim YLBHI pun berhasil menjadi kuasa hukum para petani. Namun setelah perkaranya dilimpahkan ke pengadilan berlangsung secara diam-diam oleh kejaksaaan. Jaksa tetap berkeras tak mau menyebutkan kapan persidangan akan dimulai. 

Bahkan, Era dan tim sebagai kuasa hukum para petani baru dikasih tahu jaksa mengenai jadwal persidangan secara mendadak, dan itu pun setelah ditanya. Menurutnya, semua prosesnya tampak dikondisikan hingga persidangan agar tim kuasa hukum dari YLBHI tak bisa jadi pendamping. 

Pada persidangan pertama, tim kuasa hukum YLBHI tidak bisa mendampingi petani, karena perkara didaftarkan ke panitera, oleh kuasa hukum yang ditunjuk kepolisian. Setali tiga uang, majelis hakim pun tetap bersikukuh persidangan tetap dilanjutkan dengan membiarkan puluhan petani didampingi kuasa hukum 'cuma-cuma' pemberian kepolisian.

Sementara yang menjadi soal saat itu, kuasa hukum sebelumnya bersekongkol dengan polisi dan jaksa, untuk menghilangkan hak korban. Misalnya, saat hakim bertanya kepada terdakwa, apakah ingin mengajukan bantahan? Kuasa hukum yang ditunjuk polisi itu justru mengatakan tidak. Sementara para terdakwa yang rata-rata tak pernah mencicipi kursi pendidikan sama sekali tidak mengerti hak-hak hukumnya. 

“Jadi ada upaya sistematis untuk menghalang-halangi YLBHI masuk mendampingi para petani SMB sejak proses penyidikan sampai ke pengadilan.” 

Bahkan, kata Era, upaya menghalangi tim kuasa hukum pun hadir saat kuasa hukum sampai di mulut pintu kawasan kompleks pengadilan. Saat itu, cerita Era, area Pengadilan Negeri (PN) Jambi dijaga secara berlebihan oleh aparat kepolisian.

Pintu gerbang hanya bisa dilalui satu badan orang. Tak hanya tim kuasa hukum, istri korban persekusi pun tidak diperbolehkan masuk menuju ruang sidang dengan dalih, protap penanganan kasus yang dianggap berskala besar. 

Teror dan Intimidasi

Selama proses pendampingan korban di Jambi, Era dan tim dikuntit orang tak dikenal. Setiap kali persidangan, ia dan rekannya harus berpindah-pindah tempat tinggal. Hal itu, mereka jalani demi keamanan dan keselamatan diri selama mendampingi korban.

Era mengungkapkan, timnya yang lain sempat mengalami teror dan ancaman pembunuhan pada awal-awal menemui para petani SMB untuk meminta tandatangan pemberian hak kuasa hukum kepada YLBHI. Mereka ditelepon oleh orang tak dikenal dan diancam akan dibunuh jika terus berusaha melakukan pendampingan hukum terhadap para korban.   

Menurut Era, saat itu situasi sangat mencekam. Bahkan, lahan pertanian dan pemukiman masyarakat SMB di Kabupaten Batanghari dijaga ketat aparat TNI dan Polri. Tidak ada orang luar yang boleh memasuki wilayah itu. Sementara, masyarakat di peta konflik dibuat terbelah menjadi dua kelompok yang berseberangan, yaitu antara warga yang tergabung dalam SMB dan non SMB.  

“Ketika itu warga ketakutan,” ujarnya.

Dia mengungkapkan, intimidasi terhadap tim kuasa hukum dan korban secara terbuka mulai terjadi ketika proses persidangan memasuki tahap pembelaan. Pada saat pihak tim kuasa hukum menghadirkan saksi-saksi meringankan para terdakwa. 
   
Misalnya Ibu-ibu dari terdakwa dibujuk oleh Jaksa dan Polisi untuk memutus surat kuasa. Ada tiga orang tahanan dipanggil oleh Polisi, mereka dibujuk rayu dan dipaksa untuk memutuskan kuasa dengan YLBHI dengan iming-iming hukumannya diperingan. Seorang diantaranya berhasil dirayu oleh Polisi. 

Banyak kejanggalan yang terjadi dalam proses persidangan. Misalnya ketika tim kuasa hukum sudah siap bacakan pledoi, tiba-tiba dalam persidangan ada terdakwa mencabut kuasa, diiringi dengan saksi yang sudah disiapkan oleh Jaksa.

“Pertanyaan anehnya kok Jaksa tahu kalau kuasa akan dicabut, sementara kami saja sebagai kuasa hukumnya tidak tahu kuasa akan dicabut. Artinya kan secara langsung Jaksa menemui Ibu-ibu itu untuk membujuk rayu supaya kuasa dicabut dari YLBHI,” ungkapnya. 

Yang paling parah, adalah saat anggota dari Polda Jambi menculik seorang petani SMB bernama Domiri yang akan memberikan kesaksian dalam persidangan. Domiri diculik di dalam gedung Pengadilan di sela-sela menunggu panggilan untuk memberikan kesaksian. 

Penculikan itu awalnya diketahui oleh Lidiana, istri Domiri. Saat itu Lidiana sempat melihat beberapa orang duduk mengapit suaminya di bangku ruang tunggu depan ruang sidang, namun ia tak menyadari orang-orang itu adalah Polisi yang hendak menculik suaminya. 

Lidiana baru sadar saat hendak ke warung di luar gedung, tiba-tiba ia baru sadar melihat suaminya dimasukan secara paksa oleh beberapa orang ke dalam mobil di parkiran kantor Pengadilan Negeri Jambi. Sang istri langsung melaporkan kejadian itu kepada Era selaku tim kuasa hukum.

Era pun langsung datang ke bagian informasi kantor Pengadilan melaporkan kejadian itu dan meminta rekaman CCTV. Setelah menunggu beberapa saat, orang Pengadilan mengatakan CCTV hari itu tidak nyala. 

“Tetapi kami bisa pastikan dia (saksi Domiri, petani SMB) dibawa Polisi kata staf bagian informasi PN Jambi itu,” ujarnya. 

Kemudian Era dan tim, langsung berangkat ke Mapolda Jambi dan membuat laporan kasus penculikan di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT).  Dari pihak tim kuasa hukum punya analisis, Domiri pasti akan dikriminalisasi, dan Kepolisian akan mencari-cari pasal pidana untuk menjerat. Apalagi sebelumnya Domiri sempat menjadi pejabat Desa.

Awalnya saat baru tiba di SPKT, tim diterima dengan baik oleh petugas, namun saat tahu yang dilaporkan kasus penculikan pelakunya Polisi, mereka langsung terdiam. Petugas di SPKT tak berani menerima pengaduan itu, namun mempetemukan dengan Kepala Subdit IV Ditkrimum.

Kasubdit IV Polda Jambi itu berdalih, Domiri mereka tangka bukan mereka culik sehingga mereka menolak laporan kasus penculikan tersebut. Tim kuasa hukum berdebat dengan Polisi itu hingga tengah malam. Era dan tim tak diberi kesempatan untuk bertemu Domiri. 

Sangat janggal, awalnya Polisi mengatakan Domiri ditangkap karena yang bersangkutan masuk daftar pencarian orang (DPO) terkait kasus yang sama dengan puluhan warga SMB lainnya, yakni menyerang pos PT Wira Karya Sakti (WKS) yang ada di Distrik VIII, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Tuduhan itu langsung dibantah oleh tim kuasa hukum dengan menyertakan surat rekomendasi berdasar hasil investigasi Komnas Perempuan dan Komnas HAM. 

Melihat hal itu Polisi panik dan langsung berubah alasan, kemudian menyebut Domiri DPO dalam kasus yang lain. Saat ditanya dan diminta surat DPO-nya, Polisi tak bisa menunjukan.

“Terus saya tanya mana surat DPO-nya, dia bilang ada ibu, ada. Tetapi Polisi itu tak bisa menunjukan,” ungkapnya. 

Keesokan harinya, pagi hari disaat kantor Pengadilan baru buka tim kuasa hukum langsung memasukan surat gugatan praperadilan penangkapan Domiri.

Dipersekusi Gerombolan

Dua hari kemudian, Rabu 27 November 2019,  Era yang tengah bersidang di pengadilan membela para petani dipersekusi oleh segerombolan orang. Seperti biasa, sebelum sidang Era sebagai kuasa hukum menemui kliennya, para petani untuk memberikan semangat dalam menghadapi dakwaan dan berbincang-bincang.  

Tiba-tiba beberapa orang tak dikenal yang mengaku pengacara langsung menuding Era telah mengeluarkan pernyataan menghina orang Jambi. Era pun dengan rasa heran mengkonfirmasi mereka berita yang mana, orang-orang tak dikenal itu menunjukan sebuah artikel yang tayang di sebuah akun blog di Kompasiana.

Era pun menjelaskan, bahwa artikel di Kompasiana itu bukanlah berita dan ia tak kenal dengan orang yang menulis artikel itu. Sehingga bukan kapasitasnya untuk memberikan klarifikasi soal artikel tersebut.

Mereka pun meminta Era untuk memberikan klarifikasi melalui pernyataan yang direkam oleh beberapa orang yang tengah memegang kamera. Orang-orang yang menenteng kamera mereka klaim wartawan dari berbagai media, yang belakangan diketahui media abal-abal. Kemudian beberapa orang lainnya yang mengaku sebagai pengacara ngotot sambil menghardik Era untuk memberikan klarifikasi. 

“Seperti sudah disetting begitu,” ucapnya.

Kemudian saat sidang mau dimulai, sekelompok massa melakukan aksi demonstrasi di luar gedung pengadilan. Mereka berteriak meminta Era untuk keluar untuk menemui massa. Tak tahu massa dari pihak mana, Era tetap masuk ruangan untuk bersidang.
  
Namun, ia curiga massa yang mendemonya itu sudah dikondisikan oleh kepentingan pihak tertentu yang sistematis. Lantaran, ia memerhatikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) secara diam-diam memotret dirinya menggunakan kamera handphone.
 
Selang beberapa saat, massa yang tadinya demo di depan kantor pengadilan bergerak ke bagian belakang dekat ruang sidang. Ia meyakini yang memberitahu gerombolan massa itu lokasi ruang sidang adalah jaksa tersebut.

Lalu, majelis hakim menunda jadwal sidang pukul 13.30 WIB setelah jam makan siang. Era pun tetap duduk di ruang sidang karena itu tempat yang aman, massa tak mungkin berani memasuki ruang tersebut. Kemudian jaksa menemuinya, ia menyarankan dengan nada dan bahasa yang agak mendesak agar Era menemui massa. 
 
“Jadi sebaiknya ibu keluar dulu menemui massa nanti kami bantu mengamankan, kalau ibu nggak mau menemui kami nggak menjamin keselamatan ibu di luar ruang sidang ini. Saya membaca itu sebetulnya intimidasi, kenapa dia bilang tidak menjamin keselamatan saya,” kata Era. 

Era pun menolak saran jaksa tersebut. Ia mempersilakan dan menghargai massa melakukan unjuk rasa sebagai sebuah kebebasan berpendapat. Dirinya lebih memilih fokus memikirkan pendampingan proses peradilan 24 orang yang diperiksa sebagai saksi pada hari ini.  

Sang jaksa terus membujuk rayu Era agar mau menemui massa. Menurutnya, jika massa tak ditemui sidang tak bisa dimulai. Selang beberapa saat, tiba jaksa lain bersama Polisi ke tempat Era dan memintanya untuk menemui massa yang berunjuk rasa di luar. 

Ia merasa semakin diintimidasi oleh jaksa dan polisi. Era meminta ke pihak pengadilan untuk menempatkan dirinya di ruang aman sambil menunggu sidang dimulai. Kemudian, ia ditempatkan di ruangan pengacara yang berukuran kecil, sekitar 2x2 meter. Pada saat itu Era bersama rekannya pengacara yang warga asli Jambi, Abdurrahman.

Di ruangan kecil itu tetap saja Era tidak aman, tiba-tiba beberapa orang tak dikenal masuk dan merekamnya pakai kamera video. Era meminta polisi agar ruangan itu disterilkan dari orang-orang tak dikenal.

Kemudian Era berkomunikasi dengan rekan-rekannya dari kalangan CSO (organisasi masyarakat sipil) setempat seperti Walhi dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jambi mengenai kondisinya yang diintimidasi. Sebab, lanjut Era, sekitar 70 persen orang yang ada di Pengadilan itu adalah Polisi. 

Setelah kawan-kawan CSO datang, Era akhirnya bersedia menemui dengan kondisi massa di luar pagar Pengadilan dan dirinya tetap di dalam area Pengadilan. 

“Karena saya khawatir kalau saya memberikan pernyataan, nanti pernyataan saya dipotong kalau tidak ada kawan yang dipercaya,” imbuhnya. 

Setelah didemo, sore harinya Era dilaporkan pidana ke Polda Jambi. Namun, laporannya tidak jelas perkaranya. Ternyata belakangan baru diketahui, bahwa laporan tersebut targetnya cuma mengintimidasi saja.

Selain itu, lanjut Era, ia dan tim kerap dikuntit oleh orang tak di kenal. Seperti baru tiba di Bandara Sultan Thaha Jambi, supir grab car yang ia tumpangi sudah mengenal dirinya.
 
“Supirnya nanya sidang SMB ya, mbak? Saya heran loh kok orang ini tahu,” ucapnya. 

Peradilan Manipulatif Suku Anak Dalam

Dari 59 petani SMB yang ditangkap, 11 di antaranya warga Suku Anak Dalam, Jambi. Meski tidak mendampingi warga suku anak dalam, tim kuasa hukum YLBHI tetap memonitor proses persidangan mereka. YLBHI tidak mendampingi proses hukum mereka lantaran tidak mendapatkan akses untuk mendapatkan kuasa, karena akses ditutup oleh Polisi.
 
Bahkan selama ditahan di Mapolda, sel untuk warga Suku Anak Dalam dipisahkan dengan yang lain, supaya mereka tidak mendapatkan pendampingan hukum dari YLBHI atau pihak luar. Mereka diberi kuasa hukum sesuai penunjukan dari polisi.
 
Mulanya, Era dan tim kuasa hukum dari YLBHI mendapatkan kuasa dari Suku Anak Dalam pada tahapan di kejaksaaan. Berhubung mereka buta huruf, tak bisa baca tulis, Era mendapatkan kuasa dari mereka melalui surat cap jempol.
 
Dalam proses peradilan, polisi dan jaksa bersekongkol. Ternyata Polisi memasukan secarik kertas di saku Suku Anak Dalam, ia disuruh menyerahkan ke majelis hakim. 

“Ternyata surat itu isinya memberikan kuasa kepada pengacara yang ditunjuk polisi,” katanya.

Melihat tim YLBHI selalu memonitor setiap persidangan termasuk persidangan Suku Anak Dalam, jaksa dan polisi tampak gelisah. Setiap proses persidangan dipantau dan direkam video.

Suatu ketika, di salah satu ruangan ada agenda sidang putusan Suku Anak Dalam, namun pintu ruang sidang dikunci. Di ruang sidang itu biasanya ada dua pintu, yang satu pintu tempat masuk majelis hakim dan panitera dan kedua pintu pengunjung. Namun pintu tempat masuk pengunjung dikunci.

Tim kuasa hukum yang mendampingi, kemudian menanyakan kepada JPU, jaksa mengatakan sidang tersebut tergolong khusus. Mendengar itu, Era memprotes karena setiap persidangan seharusnya terbuka untuk umum, kecuali persidangan anak dan kasus asusila.

Kemudian jaksanya mengkarifikasi, ia berdalih pintu ditutup cuma sementara karena sidang belum dimulai dan masih menyusun dokumen.  

“Padahal jaksa sebetulnya mau sidang tertutup. Lalu hakim masuk, namun pintu masih tetap dikunci. Lalu saya dari luar protes ke hakimnya, pak hakim itu pintu dikunci, ini kan sidang putusan terbuka untuk umum. Lalu hakimnya memerintahkan untuk dibuka,” kata dia.

Era menambahkan, semua petani SMB termasuk Suku Anak Dalam sudah diputus pidana penjara oleh majelis hakim PN Jambi. Namun banyak terdapat kejanggalan dalam proses hukum mereka. Ada beberapa di antaranya yang masa tahanannya telah habis, namun tidak dilepas oleh aparat penegak hukum. Ada juga yang divonis penjara satu tahun, namun sudah lebih dari setahun dipenjara belum dibebaskan. 

“Mereka semua sudah putusan, tetapi kasusnya banyak kejanggalan. Kami sedang membuat analisis kasusnya, cuma saya harus merinci data itu dulu,” tuturnya.

Siapa Yang Diuntungkan Dari Kriminalisasi Petani SMB Jambi?

Era menuturkan, pihaknya tak memiliki bukti langsung persekongkolan PT WKS, anak perusahaan Sinarmas Group dalam kasus kriminalisasi petani SMB. Namun siapa yang menerima manfaat dari kasus kriminalisasi petani SMB tersebut adalah PT WKS.

“Karena begitu semua orang-orang ini ditangkap, begitu lahannya kosong setelah pemukiman mereka dibakar, lahan itu langsung ditanami perusahaan,” ungkapnya.
 
Salah seorang warga SMB, Rosela, nama samaran karena jiwanya terancam, mengaku pada 18 dan 19 Juli 2019 sebanyak 59 petani ditangkap dan dianiaya oleh aparat kepolisian. Rosela ditangkap oleh polisi pada 18 Juli tahun lalu bersama sejumlah petani lainnya yang tengah berada di Sekretariat SMB, Kabupaten Batanghari, Jambi. 

Ia yang tengah menggandeng anaknya berusia 10 tahun, ketika itu diseret-seret oleh polisi. Sedangkan, warga yang laki-laki dipukul dan ditendang.

Rosela sempat ditahan di sel Mako Brimob Jambi selama tiga hari, setelah itu dibebaskan. Namun suami dan adiknya di penjara dengan tuduhan kasus pidana terkait perusakan kantor PT WKS di Distril VIII, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Suami dan adiknya dikriminalisasi dan mengalami penganiayaan. Hingga kini, mereka masih menjalani hukuman pidana penjara.

“Padahal suami dan adik saya tidak tahu apa-apa. Kami setiap hari cuma berladang, tiba-tiba pada 18 Juli Polisi datang, semua warga (SMB) ditangkap,” kata Rosela kepada Suara.com.

Rosela mengungkapkan, setelah ditangkap dari Sekretariat SMB, semua warga dibawa ke kantor PT WKS di Distrik VIII. Di sana warga yang laki-laki telanjangi hanya mengenakan celana dalam, mereka disiksa oleh Brimob dan TNI. Setelah dari sana, semuanya diangkut oleh Polisi ke Mako Brimob Jambi. Di markas pasukan khusus kepolisian itu mereka mengalami penganiayaan yang lebih hebat. 

Hal yang sama juga diungkapkan Sumarni, bukan nama sebenarnya dengan pertimbangan keamanan dan keselamatannya. Perempuan 62 tahun itu juga mengalami hal yang sama dengan Rosela. Ia ditangkap pada 19 Juli 2019, ketika itu datang ke kawasan SMB untuk mencari anak dan cucunya sehari setelah penggerebekan warga di Sekretariat SMB. 

Alih-alih datang mencari anak dan cucunya, Sumarni langsung ditangkap polisi. Ia sempat ditahan selama tiga hari oleh polisi di kantor PT WKS Distrik VIII bersama warga lainnya, tanpa dikasih makan dan minum.

Warga SMB yang laki-laki disiksa oleh Brimob dan tentara. Semua laki-laki ditelanjangi, hanya disisakan celana dalam, mereka dipukul dan ditendang. Bahkan ada yang dipukul oleh Polisi menggunakan gagang cangkul.

“Selama tiga hari ditahan di kantor PT WKS di Disktrik VIII, kami tidak dikasih makan dan minum. Cuma anak-anak dikasih makan nasi sisa Pak Polisi dan nasinya sudah dingin dan basi,” ungkapnya.

Sedangkan, anaknya sampai saat ini masih menjalani masa hukuman penjara. Sang anak yang divonis penjara satu tahun seharusnya akhir Maret lalu sudah habis masa hukumannya. Namun sampai saat ini dia belum juga bebas.

Kabid Humas Polda Jambi Kombes Pol Kuswahyudi Tresnadi membantah terjadi kekerasan dan penyiksaan terhadap para petani SMB baik itu di kantor PT WKS maupun di Mako Bromob Jambi.

“Sudah nggak ada itu. Itu kasusnya sudah sidang semua dan sudah vonis. Jadi Komnas HAM sudah datang ke sini, LBH sudah ke sini dan Ombudmans RI juga sudah ke sini,” kata Tresnadi saat dikonfirmasi Suara.com beberapa waktu lalu.

Humas PT WKS Taufik hingga berita ini diturunkan belum bisa dikonfirmasi mengenai kasus penganiayaan petani SMB di kantor WKS Distrik VIII. Suara.com telah mencoba mengkonfirmasi melalui sambungan telepon tidak diangkat, chat via WhatsApp tak dibalas dan surat yang telah dikirim juga belum mendapatkan respon.

Sementara itu Staf Advokasi Pembelaan HAM KontraS Falis Agatriatma beberapa waktu lalu menyatakan, bahwa kasus penangkapan petani SMB bukan penegakan hukum, melainkan balas dendam. Penangkapan itu balas dendam karena para petani SMB menyerang pos PT Wira Karya Sakti (WKS).

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI