"Kemudian materi sejarah harus disampaikan secara kreatif. Lewat gambar, video, nanti kami kirim link video biasanya. Entah murid kami suruh review atau buat esai. Mungkin itu treatmennya," ujar GPN.
Kendala lainnya adalah mengumpulkan para murid dalam satu waktu. Tak jarang banyak murid yang telat hadir dalam pertemuan secara virtual. Misalnya saja untuk kelas 1 SMA. Di sekolah tempat GPN mengajar, kelas 1 dibagi dalam tiga kelas. Untuk satu mata pelajaran, misalnya sejarah peminatan, GPN dituntut pihak sekolah untuk mengajar tiga kelas tersebut dalam satu waktu. Alasan cuma satu, mempersempit jam belajar.
![Ilustrasi belajar di rumah. [Antara Foto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/04/20/22383-belajar-di-rumah.jpg)
"Mengumpulkan anak dalam satu waktu adalah hal yang paling susah. Kebetulan di sekolah saya menerapkan materi sejarah peminatan untuk kelas X, kelas X ada A, B, dan C. Dalam satu waktu saya harus menjelaskan ketiga kelas itu. Misal dalam hari senin pelajaran mulai dari jam 8 pagi sampai jam 10, ya sudah itu untuk tiga kelas X. Alasannya untuk mempersempit jam belajar," tutur GPN.
Kenyataan tersebut jelas membebani GPN. Baginya, proses belajar dan mengajar seperti itu tidak efektif. Kalau dalam kondisi normal, kata dia, sangat jelas kegiatan secara virtual tidak bisa disebut sebagai pendidikan. Namun, dalam kondisi pandemi corona, dia harus terbiasa dengan kenyataan semacam itu.
"Kalau dalam kondisi kaya gini mau gimana lagi? Guru dituntut harus menguasai teknologi aplikasi yang menunjang pelajaran," bebernya.
Aturan Sekolah
Sekolah tempat GPN mengajar mewajibkan orang tua mengawasi anak-anaknya dalam kegiatan belajar dan mengajar selama ini. Namun, pada kenyataannya aturan itu luput, hanya menjadi sebuah instruksi saja. Pasalnya, pihak sekolah tidak bisa memantau kegiatan para siswa di rumahnya masing-masing. GPN mengatakan, lingkungan sekolah dan lingkungan rumah adalah ruang yang berbeda. Sekolah adalah aturan, sedangkan rumah adalah tempat bernaung --meski ada aturan juga di dalamnya.
"Pada akhirnya ini hanya sebuah instruksi saja, orang tua harus mendampingi anaknya. Pada praktiknya, kami tidak tahu. Ya faktor lingkungan juga sih, bagaimana keseharian mereka di rumah. Kan beda lingkungan sekolah dan lingkungan di rumah," ucap dia.
Soal pendampingan orang tua, kata GPN, yang lebih memahami adalah wali kelas. Dia bukan wali kelas. Tetapi, dia sedikit banyak mengetahui realita yang terjadi. Ada beberapa murid yang tidak mendapat pendampingan selama belajar di rumah karena orang tuanya sibuk.
Baca Juga: Novel Baswedan: Ia Pasang Badan, Agar Pelaku Sebenarnya Tak Terungkap
"Itu yang lebih paham wali kelas. Tapi saya sedikit banyak tahu lah. Instruksi sekolah harus, orang tua harus mendampingi. Ada beberapa anak yang tidak didampingi karena orang tuanya sibuk," katanya.
Sebagai tenaga pendidik, GNP juga harus mematuhi aturan yang dibuat oleh sekolah tempat dia bekerja. Pertama, mengajar tepat waktu. Kegiatan belajar dan mengajar selama masa pandemi mulai seperti hari-hari biasanya. Kedua, memberikan materi sesuai porsi. Ketiga, dilarang memberi materi yang terlalu berat. Alasannya sepele, murid tidak boleh terbebani.
"Katanya sih membebani murid. Kemudian jam belajar mengajar dikurangi yang tadinya dua jam jadi satu setengah jam," jelasnya.
Selain itu, porsi tugas bagi para murid harus dikurangi. Karena minimnya pengawasan, tak jarang GPN kerap mendapati beberapa muridnya telat mengumpulkan tugas.
"Ya agak susah juga, namanya anak kita tidak tahu. Kami gak bisa ngawasin. Kadang ada siswa yang gak tepat waktu kumpulin tugas," tambahnya.
Pandangan Guru