Suara.com - Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Tengku Zulkarnain menyinggung kalangan yang dinilainya berbeda sikap dalam merespon anggota keluarga Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan anggota keluarga Presiden Joko Widodo maju ke pilkada.
"Ketika ada indikasi keponakan Prabowo mau ikut pilkada, seantero medsos ribut dan menuduh nepotisme. Giliran ada yang anak dan mantunya maju, bukan Prabowo. Senyaaaap saja. Bahkan ada yang mengatakan bukan politik dinasti. Bahkan Mata Najwa wawancara dengan "kehilangan taringnya." Hehe," ujar Tengku dalam media sosial.
Keponakan Prabowo yang maju ke pilkada adalah Rahayu Saraswati Djojohadikusumo. Saraswati menjadi calon wakil wali kota Tangerang Selatan mendampingi Muhammad.
Sedangkan dari keluarga Jokowi yang maju ke bursa pilkada yaitu Gibran Rakabuming Raka (anak) dan Bobby Nasution (anak mantu). Gibran maju menjadi calon wali kota Solo. Sementara Bobby maju menjadi calon wali kota Medan.
Selain keluarga Prabowo dan Jokowi yang jadi sorotan Tengku, sebetulnya masih ada sejumlah kerabat pejabat yang juga melakukan hal seperti itu, sebut saja putra dari Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Hanindhito Himawan Pramana, yang maju menjadi calon bupati Kediri.
Pembahasan tentang politik dinasti selalu menjadi topik hangat. Menurut KBBI, politik dinasti yaitu suksesi pejabat yang dilanjutkan oleh kerabat pejabat yang berkuasa.
Analis politik dan ekonomi Rustam Ibrahim menilai politik dinasti lebih parah sebetulnya bukan di pemerintahan, tapi di partai politik.
Menurut Rustam Ibrahim, partai seakan jadi milik pendirinya. Rustam Ibrahim mengibaratkan perusahaan, pendiri jadi satu-satunya pemegang saham, sekurangnya mayoritas saham.
"Dengan mudah kepemimpinan diwariskan kepada keluarganya," kata Rustam Ibrahim melalui media sosial.
Baca Juga: Jokowi Dikatai Tukang Pisang Krispi, Kaesang Pangarep Balas Begini
Rustam Ibrahim menambahkan sebenarnya politik dinasti di pemerintahan juga banyak dilakukan. Tapi untuk pejabat yang dipilih (elected officials), seperti gubernur dan bupati serta wali kota, masih ada kemungkinan tidak dipilih rakyat.
"Jadi tidak 100 persen bisa sukses mewariskan kepada keluarganya," kata dia.
Banyak partai politik yang muncul pada perjalanan reformasi pada akhirnya justru terjebak pada oligarki dan politik dinasti, kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie.
"Ada problem internal di dalam partai-partai, partai yang lahir di era reformasi," kata Jimly baru-baru ini.
Sebenarnya, Jimly menjelaskan reformasi itu merupakan upaya untuk membalikkan keadaan yang kecenderungannya negatif supaya kembali baik, seperti Orde Lama dikoreksi Orde Baru, kemudian Orde Baru dikoreksi oleh Reformasi setelah 32 berjalan.
Memasuki perjalanan reformasi, kata dia, muncul partai-partai yang mengusung democracy of law, tetapi dalam praktiknya justru berbeda.