"Sehingga dengan melakukan pembayaran kepada sebuah perusahaan swasta sekitar Rp 200 Miliar adalah sebuah bentuk pembayaran yang tidak diperolehnya sebuah lahan yang clear and clean serta berpotensi kerugian total lost (uang hilang semua tanpa mendapat lahan)," katanya.
Kedua, lahan tersebut HGB-nya akan habis tahun 2021 dan selama ini tidak pernah dilakukan pembangunan apapun sesuai izin HGB dan berpotensi tidak akan diperpanjang HGB-nya.
"Sehingga semestinya PD Sarana Jaya menunggu perpanjangan HGB untuk melakukan pembayaran sehingga dengan pembayaran sebelum HGB diperpanjang adalah bentuk pembayaran yang sia-sia dan berpotensi tidak akan memperoleh lahan tersebut," ujarnya.
Ketiga, sebelum terbit HGB tahun 2001, lahan tersebut adalah berstatus hak pakai yang dimaknai lahan milik pemerintah.
Sehingga, ketika lahan tersebut terlantar karena tidak didirikan bangunan maka berpotensi HGB dicabut atau setidaknya perpanjangannya akan ditolak.
"Sehingga pembayaran oleh PD Sarana Jaya adalah sesuatu hal ceroboh dan uang terbuang percuma," kata Boyamin
Keempat, kata Boyamin, bahwa dengan rencana penjualan lahan oleh pemegang HGB kepada perusahaan swasta yang kemudian dijual kepada PD Sarana Jaya patut diduga telah melanggar UU Yayasan.
"Sehingga HGB tersebut dapat dicabut oleh pemerintah karena tidak sesuai peruntukannya sehingga pembayaran PD Sarana Jaya kepada sebuah perusahaan swasta patut diduga turut serta korupsi yang merugikan negara," ujarnya.
Berdasarkan data lahan yang dikirim ke KPK. Maka itu, Boyamin berharap lembaga antirasuah diumumkan tersangka dan dilakukan penahanan.
Baca Juga: Soal Korupsi Lahan Sarana Jaya, FITRA: Keteledoran DPRD DKI
"Terhadap para rersangka dugaan korupsi pembayaran PD Sarana Jaya untuk rencana memperoleh lahan di Munjul, Pondok Rangon, Cipayung, Jakarta Timur."