Kisah Penguasa Parkir Liar: yang Bisa Kuasai Lahan, Itu yang Bisa Berdiri

Siswanto Suara.Com
Senin, 05 April 2021 | 07:00 WIB
Kisah Penguasa Parkir Liar: yang Bisa Kuasai Lahan, Itu yang Bisa Berdiri
Ilustrasi tempat parkir [suara.com/Kurniawan Mas'ud]

Suara.com - Sudah sering publik Indonesia dihidangkan berita mengenai perebutan lahan parkir antar kelompok warga. Perebutan kekuasaan seringkali diwarnai dengan tindakan kekerasan, kadang sampai jatuh korban luka, bahkan sampai nyawa melayang sia-sia.

Beberapa contoh kasus terjadi di tengah pandemi Covid-19. Di antaranya berlangsung di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, awal Februari 2021. Di tengah pandemi yang telah menjungkirbalikkan sendi-sendi perekonomian masyarakat, dua kelompok warga dengan senjata tajam di tangan mereka saling serang untuk merebut lahan parkir.

Kasus yang lain terjadi di Banjarmasin Barat, Kalimantan Selatan. Kejadiannya lebih menyedihkan kalau dibandingkan yang terjadi di Lenteng Agung. Seorang warga tega menghabisi nyawa orang lain karena memungut biaya parkir dari supir kendaraan truk di sebuah lahan yang dianggap telah dikuasainya.

Kue ekonomi atau pendapatan dari lahan parkir diakui banyak pihak amat menggiurkan. Itu sebabnya banyak bermunculan wilayah-wilayah baru atau perebutan suatu wilayah bernilai ekonomi tinggi. Kemunculan tempat-tempat parkir tidak resmi seiring dengan pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor yang tak berimbang dengan ketersediaan area parkir resmi.

Sebelum dua kejadian di atas atau sebelum pandemi Covid-19 muncul di Tanah Air, di berbagai daerah di Indonesia, terutama di Jabodetabek, sudah sering muncul perkara perebutan kekuasaan atas lahan parkir yang berakhir dengan memilukan.

Untuk mengetahui kira-kira seperti apa dunia pengelolaan lahan parkir tidak resmi atau tanpa izin pemerintah (sering pula disebut liar atau ilegal), terutama kenapa seringkali pecah bentrokan fisik antar warga atau antar kelompok penguasa, juga bagaimana mereka menanggapi stigmatisasi bahwa dunia perparkiran ini dianggap meresahkan, saya mewawancarai salah seorang aktor penguasa di sebuah kawasan di Jabodetabek, baru-baru ini.

“Itu bukan pilihan. Tapi namanya di dunia seperti itu (parkir liar). Siapa yang bisa kuasai lahan itu, ya itu yang bisa berdiri,” kata Jensen mengomentari berbagai kejadian tragis.

JENSEN bukan nama sebenarnya seperti keinginannya ketika saya wawancarai. Kami ngobrol melalui telepon karena sama-sama ingin mencegah penyebaran Covid-19.

Dia bersama kelompoknya memegang kekuasaan atas lahan parkir di salah satu daerah penyangga Ibu Kota.

Baca Juga: Kisah Seorang Bodyguard: Nyawa Jadi Taruhannya

Mula-mula, Jensen menceritakan awal mula memasuki pekerjaan menguasai lahan parkir. Beberapakali dia meralat tahun memulai pekerjaan ini, awalnya dia menyebut 2009, tapi kemudian diralat jadi 2010, belakangan dia ingat tahun 2011-an.

Jensen dan kelompoknya merintis pekerjaan ini tidak dimulai dengan menjadi juru parkir, melainkan langsung menjadi aktor penguasa. Penguasa kira-kira artinya orang yang memiliki anak buah yang bisa ditempatkan untuk menjaga setiap jengkal lahan parkir.

Anak buahnya atau orang-orang yang dipekerjakan menjadi penjaga kaveling perparkiran ada belasan. Namun, pandemi Covid-19 telah berdampak pada ceruk perparkiran ilegal.

Semenjak datang pagebluk, jumlah “anak-anak” Jensen berkurang secara bertahap. “Sekarang tinggal setengahnya saja,” katanya.

Kondisi serupa juga dialami banyak penguasa parkir lainnya, terutama semenjak pertengahan 2020 hingga awal 2021.

Lahan parkir yang diduduki Jensen dan kawan-kawannya berada di sekitar pusat keramaian. Pusat keramaian dipilih karena di situ banyak kendaraan keluar masuk ke tempat pedagang kaki lima, tempat nongkrong anak-anak muda, tempat santai-santai, juga tempat makan untuk keluarga-keluarga yang sedang ingin makan di luar rumah.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI