Langsung bawa ortu ke rumah
Bagaimana Bakat pertamakali “menembak,” Yani mengatakan, “Dia langsung bawa ortu ke rumah.” Disusul tawa Yani.
Peristiwanya tahun 1984. Bakat membawa keluarganya datang ke rumah Yani. Mereka mengajukan lamaran. Sudah dapat diduga, orangtua Yani menerima lamaran, tetapi dengan satu syarat Yani mesti menyelesaikan pendidikan di Pajang terlebih dahulu sebelum pernikahan.
Semenjak orangtua menerima lamaran Bakat, Yani percaya barangkali memang dia sudah ditakdirkan untuk menjadi jodohnya.
“Emang itu sudah takdirnya gitu. Terus bapak asrama juga bilang, ya udah jalanin aja. Tapi ada juga temen asrama yang ngomporin, ngapain masih muda cepet nikah. Mending sekolah dulu,” ujar Yani.
Bakat menambahkan, “Tapi gini, guru di asrama juga kan ada yang berumahtangga sama-sama tidak bisa ngelihat (tunanetra). Bisa punya anak. Jadi yang buat pedoman kami ya itu juga. Ada contonya guru-guru yang sama-sama senasib, tunanetra.”
Singkat cerita, hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Januari 1985, mereka melangsungkan pernikahan.
Ketika itu, Yani sudah mendapatkan pekerjaan sebagai pemijat di Semarang, sementara Bakat masih mengikuti pemantapan keterampilan pijat di Solo, setelah dia terlebih dahulu melanjutkan pendidikan di SLB A daerah Pemalang.
Perasaan awal menikah
Baca Juga: Kisah Tunanetra: Hilang Penglihatan, Putus Asa sampai Temukan Titik Balik
“Awal-awal nikah itu saya belum ada rasa apa-apa, belum menjiwai sebagai seorang istri. Mungkin karena masih anak-anak,” kata Yani.
Beberapa lama setelah resmi menjadi istri Bakat, hari-hari Yani sebenarnya dipenuhi rasa khawatir akan perjalanan masa depan rumah tangganya, apalagi dia dan Bakat sama-sama memiliki keterbatasan fisik, ditambah lagi Bakat belum memiliki pekerjaan karena masih mengikuti pendidikan.
“Nggih mikir gitu juga sakjane. Nanti kalau sama-sama nggak ngelihat, dua-duanya gimana ya. Tar kalau punya anak gimana, jadinya gimana.”
“Saya juga mikir, gimana entar kalau dia nggak punya gaji, saya gimana?”
Yang membuat hati Yani sedikit adem ayem adalah ketika itu dia sudah bekerja di Semarang. Dia meyakini dengan bekal ketrampilan memijat, bisa menjadi modal untuk mencari nafkah.
Yani langsung hamil setelah perkawinan dan ini menjadi pengalaman baru lagi bagi dia.
“Dulu pas mau hamil, rasanya pusing, muntah-muntah terus tiap kali makan. Terus dibilangin kakak saya, kalau itu sudah biasa tiap mau hamil,” katanya.