- WALHI mengkritik rencana Prabowo menanam sawit dan tebu di Papua karena mengabaikan perbaikan tata kelola lingkungan dan sumber daya alam.
- Pembukaan lahan skala besar di Papua akan memperparah krisis ekologis, mengulang bencana yang terjadi di Sumatera sebelumnya.
- Negara seharusnya memimpin evaluasi izin, penegakan hukum, dan menerapkan moratorium permanen untuk melindungi ekosistem penting.
Suara.com - Kepala Divisi Kampanye Eksekutif Nasional WALHI, Uli Arta Siagian mengkritik pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang ingin menanam kelapa sawit dan tebu di Papua atas nama swasemba pangan dan swsembada energi.
Ia mengatakan pernyataan Prabowo menunjukkan tidak adanya kemauan politik untuk memperbaiki tata kelola hutan, lingkungan dan sumber daya alam, agar bencana ekologis tidak lagi terulang atau bahkan meluas ke wilayah-wilayah lain.
Padahal seharusnya Prabowo bisa mengambil sikap untuk memimpin proses evaluasi izin, penegakan hukum baik secara administratif (pencabutan izin) maupun pidana termasuk indikasi tindak pidana pencucian uang, menagih pertanggungjawaban korporasi untuk pemulihan lingkungan, serta koreksi kebijakan untuk melindungi ekosistem penting dan genting melalui moratorium permanen izin.
Uli mengatakan Prabowo seperti tidak punya hati dan empati atas penderitaan rakyat di Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Utara, juga seluruh rakyat Indonesia yang selama ini menjadi korban pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
"Keinginan untuk membuka sawit dan kebun tebu skala besar di Papua hanya akan memperparah krisis ekologis," kata Uli dalam keterangannya kepada Suara.com, Rabu (17/12/2025).
Selama ini, kata dia, rakyat Papua juga telah mengalami perampasan wilayah adat akibat izin-izin yang diterbitkan pengurus negara. Bahkan, pembukaan lahan 2 juta hektare untuk pangan dan energi yang sekarang berjalan dampaknya telah dirasakan oleh rakyat di Merauke, mulai dari perampasan wilayah adat, hilangnya sumber pangan lokal, banjir, kekerasan bahkan kriminalisasi.
"Tiap tahun banjir selalu terjadi di Merauke, bisa bayangkan ke depan banjir ini akan semakin sering terjadi dan meluas. Pembukaan hutan untuk sawit dalam skala besar di Sumatera diulang Kembali di Papua. Papua di masa depan akan mengalami hal yang sama dengan yang dialami oleh rakyat di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat saat ini," tutur Uli.
Berdasarkan catatan WALHI Papua, diketahui Papua telah kehilangan tutupan hutan primer ± 688 ribu hektare hingga saat ini. Bahkan mengejutkannya lagi, deforestasi 2022-2023 seluas 552 ribu hektare hutan alam Papua terdeforestasi. Papua menyumbang 70 persen dari total deforestasi nasional.
“Jika rencana ekspansi sawit, tebu dan lainnya atas nama swasembada pangan dan energi tetap dijalankan, sama artinya pengurus negara akan mengulang bencana ekologis Sumatera di Papua. Lebih jauh lagi, emisi yang akan dilepaskan dari perubahan hutan menjadi konsesi sawit, tebu dan aktifitas ekstraktif lainnya akan semakin memperparah krisis iklim. Anomali iklim, cuaca ekstrem adalah bahaya yang akan dihadapi oleh jutaan rakyat Indonesia,” kata Uli.
Baca Juga: Rocky Gerung Ungkap Riset KAMI: Awal 2026 Berpotensi Terjadi Crossfire Antara Elit dan Rakyat
Rencana membuka hutan untuk menanam tanaman yang menghasilkan bio energi bukanlah solusi baru, tetapi bagian dari pendekatan pembangunan berbasis ekspansi lahan yang telah dikritik selama ini.
Pembukaan hutan untuk sawit, tambang, dan proyek ekstraktif lainnya merupakan salah satu penyebab struktural terjadinya krisis lingkungan, termasuk mengurangi kemampuan lanskap untuk menyerap curah hujan ekstrem, memperparah banjir, dan merusak sumber penghidupan masyarakat adat serta masyarakat lokal.
WALHI mengingatkan bahwa kedaulatan energetika harus menjadi prioritas negara, tidak cukup hanya swasembada pangan dan energi.
“Energetika harus diletakkan dalam kerangka hak, sebab akses terhadap energi yang mendasari keberlanjutan dan martabat hidup manusia. Energi memungkinkan produksi pangan, tempat tinggal layak diberbagai iklim, layanan esensisal seperti Kesehatan dan Pendidikan serta konektifitas. Sistem energi harus diletakkan pada pemenuhan kebutuhan hak dasar warga negara bukan pada akumulasi kapital,” kata Uli.