Kisah Cinta Dua Orang Tunanetra

Siswanto Suara.Com
Senin, 19 April 2021 | 08:00 WIB
Kisah Cinta Dua Orang Tunanetra
ILUSTRASI: Kisah cinta dua orang tunanetra (shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Tahun-tahun pertama menjalani kehidupan rumah tangga, banyak pengalaman baru yang mereka rasakan bersama.

“Namanya orang berumahtangga, ada aja benturan dan itu wajar. Apalagi masih muda, pikiran istilahnya masih belum stabil. Belum mantap,” kata Bakat.

Tapi mereka berprinsip, rumah tangga harus dijalani dengan apa adanya, sebagaimana orangtua di kampung menyontohkan.

“Jalani apa adanya dulu mas. Nggak terlalu ngoyo kita dari dulu,” kata Yani.

Setelah anak pertama lahir September 1985, anak kedua mereka lahir November 1987, anak ketiga tahun 1997, dan anak keempat tahun 2001.

Ketiga anak pasangan tunanetra ini berhasil menyelesaikan pendidikan SMA, sedangkan anak nomor dua hanya lulus SMP.

“Anak nomor dua sebenarnya pintar. Waktu itu mau saya daftarin ke SMA 5 di Pondok Gede, tapi terlambat. Waktu itu kepala sekolah bilang NEM-nya bagus sebenarnya. Ya itu akhirnya saya kursusin jahit dan sekarang kerja di konveksi,” kata Bakat.

Dalam membimbing anak-anak, terutama yang tinggal bersama nenek di Boyolali, dibantu oleh keponakan-keponakan.

“Saya nyuruh keponakan-keponakan di kampung untuk ngajarin. Kami walaupun merantau, tetapi memantau dengan menyuruh orang untuk ngajari,” kata Yani.

Baca Juga: Kisah Tunanetra: Hilang Penglihatan, Putus Asa sampai Temukan Titik Balik

Untuk memotivasi semangat anak-anak agar tekun belajar, kepada mereka selalu ditanamkan kesadaran bahwa mereka lahir dari orangtua yang punya keterbatasan fisik sehingga harus jauh lebih maju.

“Anak-anak nggak ada yang difabel, alhamdulillah sehat semua,” kata Yani seraya mengatakan dia menjadi tunanetra sejak umur sembilan tahun, sedangkan Bakat sejak umur tujuh tahun.

Pengalaman pahit

Dari pengalaman menghadapi berbagai masalah rumah tangga, Yani menarik kesimpulan: dibutuhkan kesabaran. Menurut dia, akan sangat sulit menyelesaikan pertikaian suami istri jika salah satunya tidak ada yang mau mengalah.

“Salah satu mesti ngalah, diem saja. Kalau diturutin ya udah. Kalau saling keras kepala mungkin sudah putus dari dulu.”

Pengalaman paling pahit sebagai ibu rumah tangga dirasakan Yani setelah dia melahirkan anak yang ketiga.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI