Sementara Dicky mengatakan bahwa kesulitan penerapan itu turut disumbang faktor perbedaan pola perilaku. Masyarakat dengan setting perkotaan jauh lebih aktif, punya durasi interaksi lebih panjang, serta kebanyakan berada pada tempat-tempat indoor.
Meski Rentan Tetap Ada Solusi
Pandemi membikin semua aspek kehidupan menjadi rentan, tak terkecuali buat masyarakat Baduy. Bagi masyarakat Baduy Luar, pandemi meningkatkan kerentanan ekonomi mereka lantaran sektor pariwisata benar-benar menurun.
Arif, seorang pemandu wisata lokal di Kanekes, bilang sektor pariwisata benar-benar susah pada beberapa bulan awal pandemi. Nyaris tak ada yang berkunjung.
“Pokoknya selama wilayah dikarantina, pariwisata ikut turun,” ujarnya.
Ini pun berdampak pada penghasilan beberapa warga. Intan misalnya, pemudi Baduy yang bekerja sebagai penenun merasakan bagaimana kain tenunnya jadi mengalami penurunan penjualan. Ia termasuk beruntung karena punya beberapa langganan yang rutin membeli hasil tenunnya.
“Beberapa dijual ke langganan, walaupun enggak sebanyak dulu. Tapi, untungnya masih ada pemasukan,” katanya.
Intan sadar, memaksakan membuka pariwisata juga tidak baik. Ia dan warga lainnya takut bila orang tetap keluar masuk seperti biasa, wabah bakal mudah menular. “Apalagi banyak anak kecil dan orang tua di sini. Kalau enggak aman, jangan dulu,” kata Intan.
Meski sektor pariwisata jadi turun, namun itu tidak banyak berpengaruh pada kehidupan masyarakat Baduy. Buat mereka sektor pariwisata hanya penunjang, bukan yang utama. Pekerjaan utama mereka adalah bertani.
Baca Juga: Asal Usul Seba Baduy, Tradisi Ratusan Tahun Sejak Kesultanan Banten
Aji, warga Baduy Luar bilang dampak yang paling terasa dari pandemi ini adalah kampung menjadi lebih sepi. Sehari-hari ia pun tetap beraktivitas seperti biasa, pergi ke ladang setiap hari. Dari hasil ladang ini ia menggantungkan hidup.
“Mungkin sepi saja di sini, lainnya nggak pengaruh. Orang-orang di sini juga pada sehat,” katanya.
Urusan pangan di masa pandemi, masyarakat Baduy tidak terlalu khawatir. Mereka memproduksi pangan untuk komunitas mereka sendiri, tanpa bergantung pada pasar. Misalnya beras, mereka memiliki ladang padi sendiri yang hasilnya memang untuk kebutuhan sendiri dan tidak dijual. Hasil bumi selain padi biasanya mereka jual, tapi utamanya selalu buat kebutuhan mereka sendiri lebih dulu.
Masing-masing keluarga juga punya stok kebutuhan pangan yang mereka simpan khusus bila ada kondisi darurat, misalnya bencana alam atau pada masa paceklik. Mereka menyimpan gabah kering di tempat khusus yang bisa bertahan hingga beberapa tahun.
“Orang Baduy itu menggerakkan kerja dengan bertani. Itu pendapatannya di situ. Utamakan bertani. Kalau kurang baru pemasukan dari kerajinan,” terang Jaro Saija.
Masalahnya, masyarakat adat tetap rentan sekalipun aspek ekonomi—mungkin—sudah mendapati solusinya. Dalam kasus Baduy Luar, kerentanan tersebut bisa dilihat melalui, yang pertama, akses ke fasilitas kesehatan.