“Melakukan banyak kebaikan dan memberitakan kebaikan itu penting, agar informasi yang masuk ke masyarakat hal-hal yang baik, bukan berita-berita palsu,” tambahnya.
Menertibkan dan memberantas berita palsu dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya melalui kampanye literasi, inisiatif pengecekan fakta, dan penetapan langkah-langkah hukuman untuk mencegah penyebarannya.
Kementerian Kominfo mengandalkan tiga pendekatan dalam menanggulangi maraknya hoaks dan konten negatif di Indonesia. Ketiga pendekatan itu mencakup tingkat hulu, menengah, dan hilir. Terkait pendekatan di tingkat hulu, Kementerian Kominfo gencar melakukan literasi digital. Kominfo telah bekerja sama dengan 108 komunitas, akademisi, lembaga pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk memberikan literasi digital.
"Ini untuk mendidik masyarakat guna menyebarkan informasi yang akurat serta menghentikan penyebaran konten negatif dan hoaks,” tambah Johnny G Plate.
Di tingkat menengah, Kementerian Kominfo mengambil langkah pencegahan. Kementerian misalnya menghapus akses konten negatif yang diunggah ke situs web atau platform digital.
Kementerian melakukan langkah tersebut apabila menemukan akun yang mendistribusikan hoaks dan konten palsu terkait Covid-19. Kementerian juga bekerja sama dengan platform media sosial seperti Facebook, Twitter, hingga YouTube dalam melakukan tindakan penghapusan akses.
Di tingkat hilir, Kementerian Kominfo berkolaborasi dengan pihak kepolisian guna mencegah penyebaran informasi yang salah dan menyesatkan di ruang digital.
Polri juga memiliki Virtual Police, yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberi peringatan dan mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.
"Kami munculkan virtual police sebagai upaya memberikan peringatan. Kalau masih dilakukan, resikonya akan melanggar undang-undang. Virtual Police dan Visual Alert hadir untuk menghilangkan kesan polisi yang represif, dan mengedepankan upaya preemtif dan preventif, inilah wajah baru kami dalam penegakan hukum dunia maya," Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menerangkan.
Pendekatan-pendekatan di atas tersebut sifatnya pentahelix, yakni melibatkan instansi pemerintah, komunitas akar rumput, media konvensional, masyarakat sipil, serta akademisi.
Kenali dan Hadapi Hoaks dengan Bijak
Tapi menghadapi hoaks bukan hanya peran pemerintah. Masyakarat pun diharapkan semakin bijak menangkal hoaks. Terdapat beberapa langkah sederhana untuk membantu netizen mengidentifikasi menghindar dari berita hoaks:
Baca Juga: Kominfo Dorong Pengembangan Smart City di Indonesia
Judul Provokatif
Hoaks seringkali menggunakan judul sensasional yang provokatif. Meskipun isinya terlihat disadur dari berita resmi, namun isinya diubah agar menimbulkan persepsi tertentu yang diinginkan pembuat hoaks. Saat menemukan berita semacam ini, carilah referensi lain dari situs resmi dan bandingkan isinya.
Cermati alamat situs
Jika informasi diperoleh dari situs dengan link, cermatilah alamatnya. Jika belum terverifikasi sebagai institusi media resmi atau blog, informasinya bisa jadi meragukan. Di Indonesia, lebih dari 43.000 situs mengklaim diri sebagai portal berita, namun yang terverifikasi tidak sampai 300 saja. Potensi menyebarkan berita palsu di internet sangat besar dan harus diwaspadai.
Periksa fakta
Dari mana berita berasal dan siapa sumbernya? Apakah dari institusi resmi? Jika berasal dari pegiat ormas, tokoh atau pengamat, perhatikannya keberimbangan sumbernya. Berita juga harus dibedakan, mana yang fakta dan opini. Opini biasanya memiliki kecenderungan bersifat subjektif.
Cek keaslian foto dan video
Tak hanya teks yang bisa dimanipulasi dan menjadi hoaks, konten lain berupa foto dan video pun kerap diedit untuk memprovokasi pembacanya. Cek keaslian foto melalui Google dengan melakukan drag-and-drop di Google Images. Gambar serupa akan muncul, sehingga bisa dibandingkan.
Ikut grup diskusi anti-hoaks
Sudah cukup banyak fanpage dan grup diskusi anti hoaks, misalnya Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax (FAFHH), Fanpage & Group Indonesian Hoax Buster, Fanpage Indonesian Hoaxes, dan Grup Sekoci. Di grup-grup diskusi ini, netizen bisa ikut bertanya apakah suatu informasi merupakan hoax atau bukan, sekaligus melihat klarifikasi yang sudah diberikan oleh orang lain. Semua anggota bisa ikut berkontribusi sehingga grup berfungsi layaknya crowdsourcing yang memanfaatkan tenaga banyak orang.